Selamat Datang

Selasa, 14 Juli 2009

PEMBANGUNAN HUKUM PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA

Pendahuluan
Ekonomi Islam akhir-akhir ini marak diperbincangkan, bahkan sudah mulai menggejala di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara luas. Sesungguhnya perbincangan mengenai ekonomi Islam tersebut hanya merupakan bagian terkecil saja dari ajaran Islam yang sangat komplek serta menyeluruh (syumul). Hanya saja perlu disadari bahwasanya hampir seluruh kegiatan manusia apapun bentuknya, pada hakikatnya mengarah kepada kegiatan yang bersifat ekonomis. Itulah sebabnya al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut mengingatkan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya Islam itu bukanlah agama kematian (din al-maut) semata, melainkan sekaligus juga merupakan agama kehidupan (din al-hayah).
Bahkan lebih dari itu ia katakan bahwa Islam adalah agama kerja (din al-‘amaliyah). Ia berpendapat bahwa setiap pekerja dengan profesinya masing-masing pada dasarnya adalah jual beli atau dagang. Berangkat dari pemikiran Mahmud Syaltut ini dapat disimpulkan bahwa hampir atau bahkan semua aktifitas yang dilakukan setiap orang, mulai dari petani di ladang, nelayan di laut, pedagang di pasar, buruh atau karyawan di pabrik, bankir di bank, sampai kepada guru di sekolah, dosen di kampus, konsultan di kantor, dokter di rumah sakit, tentara di medan tempur, jaksa, pengacara dan hakim di pengadilan, penyanyi di panggung/studio, olah ragawan/wati di lapangan, dan lain-lain, semuanya tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka “dagang” (jual beli) alias mencari “untung” dengan cara memberikan barang/jasa dan menerima imbalan/upah, atau apapun sebutannya untuk itu.
Secara khusus, keberadaan perekonomian yang berbasis syari’ah merupakan fenomena baru di kalangan lembaga perekonomian mainstream yang berbasis bunga, karena di dalam sistem perekonomian yang berlaku pada umumnya menggunakan instrumen bunga sebagai penggerak utama kegiatan perekonomian. Sebagai unsur pembeda atas keberadaan lembaga perekonomian syari’ah adalah tidak menerapkan bunga (riba) atas kegiatan-kegiatan usahanya.
Baik dalam rangka penghimpunan dana maupun penyaluran dananya. Atau dengan kata lain bahwa perbankan syari’ah dalam fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds), menerapkan sistem bagi hasil (non ribawi). Dalam hal ini perbankan syari’ah tetap memperhatikan sistem keuangan yang baik di bawah pengawasan Bank Indonesia, dalam rangka ikut menjaga dan mengembankan sistem keuangan negara yang sehat dan stabil demi terselenggaranya pembangunan nasional yang sarat dengan pembangunan perekonomian.
Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia memerlukan penyesuaian kebijakan moneter dengan tujuan yang dititikberatkan pada upaya mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah yang ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu: (1) kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian; (2) system pembayaran yang cepat, tepat, dan aman; serta (3) system perbankan dan keuangan yang sehat dan efisien.
Pembayaran dalam bentuk suku/tingkat bunga merupakan perwujudan dari konsep time value of money yang memandang uang sebagai sesuatu yang berharga dan berkembang akibat perjalanan waktu tertentu (tingkat bunga dianggap sebagai komoditas uang). Hal demikian ini berarti dalam perbankan yang berbasis bunga, uang sebagai komoditi dapat berkembang karena waktu tertentu baik dalam kondisi uang tersebut belum digunakan (money lying idle) maupun digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumtif.
Kegiatan perekonomian dalam konsep Islam, yaitu economic value of time, yang berarti yang berharga adalah waktu itu sendiri. Menurut konsep Islam, uang adalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas (sesuatu yang diperdagangkan).
Hal demikian berati untuk menyalurkan dana (uang) dan mendapatkan keuntungan (profit) diperlukan transaksi atau perjanjian kerja dalam kegiatan perekonomian riil yang inheren dengan resiko usaha yang dilaksanakan dalam waktu tertentu, seperti halnya transaksi atau perjanjan mudharabah (akad kerja/bisnis dengan menggunakan system bagi hasil).
Sesuai dengan teori keuangan, return goes along with risk (return selalu beriringan dengan resiko), maka salah satu prinsip yang menjadi karakteristik dalam kegiatan operasional perbankan yang berbasis non ribawi (tanpa riba), adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini adalah didasarkan pada pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) diantara kedua belah pihak yang menjalankan transaksi kegiatan tersebut.
Kehadiran bank syari’ah yang pertama kali adalah PT Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 merupakan awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan bank syari’ah di Indonesia.

Paradigma Bank Syari’ah dalam Kerangka Hukum Nasional
Ketika seorang teolog scientist menempatkan hukum sebagai salah satu dinding terowongan modernitasnya, ini mengundang pertanyaan, dan jawabannya bukan karena alasan yang dikemukakan olehnya bahwa: Pertama, hukum merupakan keputusan penting yang selalu berubah dan memiliki keterkaitan dengan persoalan jiwa (ruhani) manusia. Kedua, begitu beragamnya doktrin konstitusional sehingga perlunya perlindungan berbagai kepentingan, termasuk yang sangat penting adalah kepentingan relegius . Perekonomian umat yang berkapasitas sebagai jantung kehidupan manusia, dalam konteks agama Islam merupakan perpaduan antara dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua sisi tersebut adalah konsep perekonomian yang mengacu kepada tujuan mencari keuntungan (profit) dan sandaran transendental yang merupakan keharusan disandarkannya segala aktifitas manusia sebagai bentuk penghambaan atau peribadatan kepada-Nya. Dengan demkian perekonomian yang dibenarkan oleh Islam adalah perekonomian ilahiyah yang pada hakikatnya dapat memenuhi kedua sisi tersebut.
Oleh karena itu perputaran keuangan Islam yang terkemas melalui sistem perbankan syari’ah, secara praktis harus tetap mengacu pada aturan-aturan yang berlaku menurut syari’at Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi kemurnian konsep perbankan syari’ah sebagai bagian dari ajaran agama Islam. Pengertian seperti ini merupakan legitimasi regulasi pelaksanaan keagamaan di Indonesia yang secara monumental tertuang dalam Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar 1945, di mana Piagam Jakarta secara yuridis normatif menjiwai UUD 1945. Keduanya merupakan rangkaian konsitusi yang diberlakukan sebagai dasar implementasi kehidupan beragama di Indonesia. Pasal 29 UUD 1945 menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan, dengan demikian dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam . Pernyataan ini berdasarkan pada pidato atau amanat presiden Sukarno di depan sidang konstituante Tahun 1959 dengan judul “Res Publica. Sekali lagi Res Publica”, juga dalam konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka pada tempatnyalah jika dikatakan bahwa hukum Islam bagi umat Islam warga negara Republik Indonesia memperoleh kekuatannya sendiri untuk diberlakukan atas dasar Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945 Pasal 29 dan Dekrit Presiden. Di sisi lain harus diakui bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memicu kepada kebutuhan umat yang semakin bertambah, serta menuntut pelayanan dan perlindungan demi terwjudnya kesejahteraan dan keamanan serta kepastian hukumnya.
Suatu hal yang masih harus dipertanyakan, apakah sesungguhnya basis perekonomian Indonesia saat ini? Sosialiskah atau kapitalis. Hal ini perlu mendapatkan jawaban yang kongkrit. Sebab kejelasan basis perekonomian suatu bangsa akan menentukan ke arah mana sesungguhnya perekonomian tersebut akan dibawa. Di samping itu kejelasan basis perekonomian akan menjadi pijakan pemerintah dalam hal melahirkan kebjakan-kebijakannya. Sesuai dengan kultur kehidupan bangsa Indonesia, dimana rasa tolong menolong merupakan ciri masyarakatnya (masyarakat patembayan), memberikan pemahaman bahwasanya sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah sstem ekonomi sosialis. Artinya Indonesia tidak mempergunakan ekonomi kapitalis, dimana eksploitasi, monopoli dan lain sebagainya yang mengarah pada kepentingan perorangan atau golongan menjadi hal yang paling penting dalam kemajuan perekonomian.
Sementara itu, fakta sosial menunjukkan bahwa Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, maka semestinya segala kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan perekonomian tetap mengarah kepada konsep perekonomian Islam yang menjadi acuan pendidikan ekonomi pemeluknya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kant, bahwa negara adalah suatu keharusan, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum. Negara harus menjamin setiap warga negara untuk bebas di lingkungan hukum, artinya bebas dalam batas norma-norma yang telah ditetapkan oleh undang-undang, karena undang-undang itu adalah penjelmaan kemauan umum dari masyarakat.
Dengan ungkapan “undang-undang itu adalah penjelmaan umum dari masyarakat”, menunjukkan bahwa segala bentuk peraturan baik berupa undang-undang ataupun kebijakan yang ditetapkan oleh negara (pemerintah) hendaklah tetap mengacu kepada kultur yang ada. Sacipto Rahardjo juga berpendapat bahwa ilmu hukum memiliki keterkaitan erat dengan masyarakatnya. Sulit untuk memahami hukum suatu bangsa dengan baik, apabila hukum dilepaskan dari lingkungan dan habitat, dalam hal ini masyarakat dimana hukum berada dan dijalankan. Pernyataan ini memberikan pengertian bahwasanya apabila hukum (law making proses) tidak memandang kebiasaan dan budaya setempat, maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa hukum tersebut, cepat atau lambat akan kehilangan fungsinya, kalau tidak dapat dikatakan tidak berfungsi sama sekali. Maka pada saat itulah hukum tidak mampu memberikan perlindungan, kepastian dan keadilan.
Dalam konteks hukum Islam pun juga demkian. Hukum Islam dalam artian fikih (hasil pemikiran ulama’ berdasarkan nash dhonni) harus selalu diartikan sebagai hukum yang setiap saat siap mengalami atau menerima perubahan sesuai dengan variabel perubahnya. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan bahwa:
تغير الأحكام بتغير الأمكنة و الأزمنة
Artinya: “Perubahan hukum itu sesuai dengan perubahan tempat dan waktu”.
Oleh karenanya pemerintah sebagai penguasa yang memiliki segala kebijakan, khususnya kebijakan dalam bidang hukum harus selalu memperhatikan kemaslahatan yang terkait dengan kepentingan umat dalam suatu kurun waktu dan tempat. Jalal al-Din al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhair mengemukakan :
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: “Kebijakan pemerintah terhadap umatnya (rakyat) harus mengacu kepada kemaslahatan”
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwasaya perekonomian yang di kehendaki oleh Islam dan pemeluknya adalah perekonomian ilahyah (Ketuhanan) dan mendapatkan perlindungan hukum secara pasti dari penguasa atau pemerintah yang berwenang.
Dengan demikian tuntutan perekonomian Islam (termasuk bank syari’ah) adalah terwujudnya perekonomian yang berbasis agama sebagai nilai transendental serta terwujudnya aturan perundangan yang secara yuridis normatif dapat dipertanggung jawabkan.

Hukum Dasar Perbankan Syari’ah
Pengertian hukum dasar di sini harus dibedakan dengan dasar hukum. Karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dasar hukum memberikan arah pengertian kepada wujud atau materi hukum itu sendiri. Sedangkan hukum dasar lebih memberikan pengertian dimana hukum itu berada dan harus digali.
Ubi Societas Ibi Ius “dimana ada hukum di sana ada masyarakat”. Artinya tidak ada sebuah komunitas mayarakatpun yang tidak memiliki hukum. Hanya saja hukum di sini sifatnya masih sangat sederhana sekali yang biasanya berupa tradisi.
Hukum bersifat lokal, cukup untuk memberikan arah ketertiban dalam pergaulan yang juga bersifat lokal, terbatas pada kebutuhan komunitas tersebut. Hukum dalam arti yang demikian ini belum ditulis secara rapi sebagai pegangan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hukum hanya merupakan kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengikat langkah-langkah kehidupan mereka.
Dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah komunitas inilah hukum dasar harus digali. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang dipakai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita kehidupan mayarakat yang bersangkutan. Di dalam konteks Indonesia, sudah barang tentu hukum dasar itu harus digali dari tempat dimana rakyat Indonesia hidup dan tumbuh berkembang. Sebuah komitmen yang monumental, menunjukkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan suatu wujud deklarasi yang diakui oleh seluruh dunia. Di mana di dalamnya disebutkan cita bangsa Indonesia yang harus dipelihara, ditumbuhkembangkan, dan dijaga demi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 4 sebagai berikut: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemenrintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada prinsipnya yang melatarbelakangi dan menjiwai sistem Undang-Undang Dasar 1945 yaitu bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah merupakan hasil deduksi logis dari suatu hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang terdapat di dalam Pembukaan ini adalah merupakan apa yang di dalam teori disebut sebagai “Staatsfundamental Recht” atau “Fundamental Law” Negara kita. Di dalam istilah penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 hukum itu disebut dengan istilah hukum dasar, dimana di dalamnya terdapat cita hukum yang di dalam bahasa Jerman disebut Rechtsidee. Sehingga secara hierarchie tata hukum kita adalah sebagai berikut:
Rechtsidee, dari rechtsidee ini kemudian ditarik keluar,
Asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum kita. Dari sini ditarik keluar apa yang disebut:
Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dari Hukum Dasar yang tidak tertulis ditarik keluar apa yang dapat dijelmakan dalam:
Hukum Dasar yang tertulis yaitu UUD 1945. Atas dasar hukum dasar yang tertulis ini dibentuk selanjutnya:
Badan Hukum Publik berbentuk dalam Negara Republik Indonesia. Badan Hukum Publik ini adalah sebagai pelaksana untuk menjelmakan Rechtsidee beserta hukum dasar yang ada di dalamnya itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang berhasil digali dari hukum dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan oleh pemerintah guna mendapatkan apresiasi positif masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksudkan, harus mengarah pada suatu tujuan yang aplikatif dan mengandung keterpautan dengan apa yang seyogyanya atau senyatanya dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan dan dipaksakan.
Dalam konteks yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri. Hukum melayani anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya, melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus oleh semua kalangan, khususnya mereka yang terkait langsung dengan kewenangan pembuatan kebijakan demi pembentukan hukum yang bersifat responsive. Dengan demikian kebijakan harus diartikan sebagai: “Kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah” . Menurut Burkhardi Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau subtansi peraturan, metode pembentukan serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis. Dalam kaitan ini aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta, tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan negara.
Bertitik tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, bisa diambil sebuah kesimpulan bahwasanya kebijakan pemerintah Indonesia di bidang perekonomian harus berakar dan bersumber pada kulturbegrif bangsa Indonesia. Dalam konteks budaya bangsa inilah kewajiban mengakomodasi hukum–hukum yang berlaku di negeri Nusantara ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dikesampingkan. Sehinga adat-istiadat dan agama menjadi unsur dominan lahirnya aturan hukum perekonomian (perbankan) yang sesuai dan cocok untuk bagsa Indonesia.
Dengan tanpa berbuat dan berfikiran diskriminatif, bahwa secara faktual sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan dengan kebesarannya itu Islam tampil dengan segala sarana dan prasarana kehidupan, termasuk di dalamnya konsep perekonomian dan perbankan. Maka konsep perekonomian dan perbankan yang harus dikembangkan di Indonesia ini seharusnya mempergunakan konsep Islam yang dalam tulisan ini adalah konsep perbankan syari’ah. Dalam kenyataannya keberadaan ekonomi (bank) syari’ah di Indonesia, merupakan hal yang sudah lama menjadi aktivitas masyarakat. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bahwa aktivitas perekonomian yang demikian itu masih bersifat soiologis (voluntary law) semata.
Dengan kata lain aktivitas perbankan syari’ah di kalangan masyarakat, sekalipun dari sisi keadilan sudah dianggap memadai, namun pada sisi-sisi yang lain seperti kepastian hukum dan lainnya masih perlu diupayakan. Kalau dalam teori kedaulatan negara dinyatakan bahwa kedudukan hukum memang lebih rendah dari pada kedudukan negara, dan negara tidak tunduk kepada hukum karena hukum diartikan sebagai perintah-perintah dari negara (bentuk imperatif dari norma), akan tetapi menurut Krabe (tokoh teori kedaulatan hukum) negara sendiri dalam kenyataannya tunduk pada hukum. Menurutnya hukum itu sendiri bersumber dari rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini yang disebut instink hukum sebagai tingkatan terendah, sebaliknya dalam tingkatan yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Lebih lanjut Krabe mengatakan rasa hukum itu terdapat pada diri setiap individu, disamping rasa lainnya seperti kesusilaan, rasa keindahan dan rasa keagungan. Dengan demikian jelaslah bahwa negara (pemerintah) sangat berkewajiban membentuk suatu undang-undang yang khusus dalam persoalan perekonomian rakyat sesuai dengan kultur Indonesia yang dalam kenyataannya terwarnai dengan kultur Islami, demi tercapainya keteraturan keadilan kepastian hukum.

Rekonstruksi Regulasi Perbankan Syari’ah
Menelisik dan mencermati pemaparan di atas, sesungguhnya satu hal yang diangap sangat penting adalah mengadakan suatu upaya pembangunan di bidang hukum, khususnya yang terkait dengan masalah perbankan syari’ah. Memperbincangkan masalah pembangunan, bukanlah seseorang harus mengumpulkan terlebih dahulu bahan baku yang akan dipergunakan. Akan tetapi langkah awal yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah memberikan sketsa atau gambaran tentang sesuatu yang akan dibangun, apa tipologi hukum yang diinginkan serta ke arah mana hukum itu akan dibawa.
Baru tahap berikutnya adalah mengidentifikasi secara seksama tentang apa yang sudah /masih ada atau belum ada, apa yang rusak atau salah, apa yang macet atau apa yang tidak relevan ataupun apa yang mengalami kemerosotan dan kemunduran. Langkah berikutnya setelah dilakukannya identifikasi tersebut adalah melakukan pengadaan terhadap hal-hal yang diperlukan, perbaikan hal-hal yang dianggap rusak atau sudah tidak relevan dan penambahan serta peningkatan secara proporsional.
Menurut Suryono Sukanto untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu peningkatan taraf kehidupan dalam arti luas, maka dapat ditempuh pelbagai cara, baik secara terpisah maupun secara simultan. Salah satu diantaranya adalah secara struktural, yang mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga sosial. Di dalamnya termasuk penetapan tata cara organisasinya serta pembangunan kebendaan, sehingga yang menjadi inti rencana perubahan-perubahan terarah yang bersifat sosial struktural.
Sedangkan Samsul Wahidin mengatakan bahwa di dalam penyusunan peraturan hukum konkrit di Indonesia pertama-tama dan terutama sekali disadari bahwa hukum di Indonesia adalah merupakan sebuah sistem yang menjadi bagian dari sistem sosial secara keseluruhan sebagai sistem yang lebih besar. Sistem hukum di Indonesia seperti disimpulkan para pakar mengakomodasikan elemen-elemen yang menjadi subsistemnya, dan sub-sub sistem yang lebih kecil lagi dengan pola pikir yang mendasari sistem hukum Indonesia yang disebut dengan sistem hukum nasional.
Sehingga sistem hukum nasional tersebut berupakan reciper yang terintegrasi dan diintegrasikan secara artistik dalam jangka waktu yang lama dari Sitem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Eropa Continental, Sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum Islam. Keempat sistem hukum tersebut mewarnai dan bahkan menjadi elemen dasar dari pembentukan satu sistem hukum yang baru kemudian seperti disebut sebagai Sistem Hukum Nasional. Sementara itu Ibnu Elmi memberikan komentar bahwasanya tidaklah tepat jika dikatakan Hukum Islam dan lain sebagainya. Itu sebagai subsistem hukum nasional, tetapi lebih tepat jika kita sebutkan sebagai bahan baku bagi pembentukan hukum nasional.
Dengan demikian maka upaya yang paling tepat dalam pembangunan hukum perbankan syari’ah adalah menetapkan paradigma lama sebagai sesuatu yang perlu dipikirkan dan diidentifikasi, mana yang sekiranya masih ada dan tetap relevan untuk dijadikan acuan pelaksanaan.
Hasil identifikasi dari paradigma lama tersebut kemudian diinventarisir sebagai bahan baku hukum yang bersifat sementara. Langkah berikutnya adalah mencari paradigma baru hukum perbankan syariah sesuai dengan kultur masyarakat di mana bank syari’ah tersebut akan dilaksanakan.
Penggabungan paradigma lama yang terinventarisasi dengan paradigma baru merupakan hasil yang dianggap sebagai pikiran-pikiran spekulatif yang dalam perjalanan waktu diharapkan akan menjadi tatanan hukum perbankan syari’ah yang akomodatip serta dapat memberikan jaminan keamanan, kepastian dan keadilan dalam kerangka hukum nasional.

Konsep Perbankan Syari’ah
Pengertian Perbankan Syari’ah
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara. Karena bank merupakan rujukan setiap orang, badan-badan usaha, baik swasta maupun milik negara/pemerintah. Baik dalam hal menyimpan uang maupun meminjam, serta jasa-jasa lainnya yang terkait dengan masalah keuangan. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Berkaitan dengan masalah bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan dalam Peraturan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Pasal 1 butir 9 dijelaskan: “Dewan Syari’ah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimksudkan dengan Bank Syari’ah adalah Bank sebagaimana bank umum (konvensional) yang menjalankan keuangannya berdasarkan prinsip syari’ah.

Basis Kebijakan Hukum Perbankan Syari’ah
Di muka sudah dijelaskan bahwa sekalipun bank syari’ah ini relatif masih muda, namun fakta sosial tetap menunjukkan adanya eksistensi perbankan syari’ah yang kokoh. Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang begitu besar terhadap bank syari’ah, baik dalam hal meminjam maupun menyimpan uangnya. Di dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, pada konsideran disebutkan:
Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syar’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Dengan demikian operasional bank syariah sama sekali berbeda dengan bank konvenional yang hanya berlatar belakang keuntungan (profit sharing) di mana teori kapitalis dan sosialis menjadi dominan. Bank syari’ah yang diproyeksikan sebagai alat tolong menolong antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang memiliki keahlian kerja, masing-masing mendapatkan keuntungan karena jasanya satu terhadap yang lain. Kehadiran hukum dalam sistem perbankan syari’ah yang secara nyata ingin memberikan sumbangan pembangunan di bidang perekonomian merupakan hal yang sangat berarti. Bahkan merupakan hal yang mutlak diperlukan, demi ketertiban, keadilan dan kepastian hukumnya.


F. Penutup
Sesungguhnya bank syari’ah, secara empirik memang telah beroperasi dari zaman ke zaman. Hanya saja pelaksanaan tersebut masih dijalankan secara tradisional bahkan secara personal (belum melembaga). Namun karena meningkatnya kebutuhan manusia yang dipicu majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bank syari’ah dipaksa harus beroperasi secara institusional dan professional serta terwadahi dalam suatu lembaga yang harus mendapatkan legitimasi hukum dari negara. Selaksana harapan akan adanya keamanan, ketertiban, keadilan dan kepastian dalam hukum, secara ideal untuk menyamakan statusnya dengan bank konvensional.
Secara kuantifikasi, masyarakat muslim di Indonesia merupakan modal bagi bank syari’ah untuk merealisasikan harapannya agar pemerintah segera memberikan perlindungan berupa hadirnya perundang-undangan yang khusus tentang bank syari’ah.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, (1992) Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, Mizan, Bandung,
Dossy Iskandar Prasetyo & Bernard L. Tanya, (2005) Ilmu Negara, Srikandi, Surabaya.
Esmi Warassih, (2005) Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang.
Ibnu Elmi AS Pelu, (2006) Membangun Paradigma Hukum di Kalimantan Tengah, Institutefor strengthening Transtition Society Studies (In TRANS) Publishing, Malang.
Hermansyah, (2005) Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Prenada Media.
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, (2001) Intervensi Negara Terhadap Agama, Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Jalal al-Din al-Suyuthy, (1965) .Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Surabaya, Al-Hidayah.
Kapita Selekta Perbankan Syari’ah, Menyongsong Berlakunya UU. No. 3 Th. 2006 Tentang Perubahan UU. No. 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama), Jakarta Pusdiklat Mahkamah Agung,
Muhammad, (2006) Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Empat, Jakarta.
M. Koesnoe, (1998) Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubhara Press,Surabaya.
Fuady. Munir, (2003) Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Empat, Jakarta
Otje Salman dan Anton F. Susanto, (2005) Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, Membuka Kembali, cetakan ke dua, Bandung, PT Refika Aditama.
Syaltut. Mahmud, (1966) Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Dar al Qalam.
Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, (2003) Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Jakarta.
Soekanto. Soerjono, (1982) Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum, CV Rajawali, Jakarta.
Wahidin. Samsul, (2002) Asas Hukum di Dalam Perspektif Penyusunan Aturan Hukum Konkret, Bahan Kuliah Penemuan Hukum, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangjurat Banjarmasin.
Abdul Wahab. Sholihin, (2005) Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Remy Sjahdeini. Sutan, (1999) Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta.
Rahardjo. Sacipto, (2005) Hukum Progresif Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif. Volume 2 No. I.

Selanjutnya..

MIRAS DAN NARKOBA DALAM HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan
Miras dan narkoba merupakan dua hal yang memiliki kesamaan daya perusak terhadap sendi-sendi kehidupan, sehingga menyita perhatian banyak kalangan. Lebih-lebih ketika sekian banyak penelitian menyatakan bahwa korban miras dan narkoba saat ini telah merambah ke segenap lapisan masyarakat mulai dari anak yang baru dilahirkan hingga orang tua, mulai dari rakyat jelata sampai konglomeratnya. Bahkan, tidak sedikit dari anak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang ikut menjadi korban keganasannya. Yang sangat memprihatinkan lagi, bahwa perilaku orang tua sudah biasa mempengaruhi sejak si kecil masih berada dalam kandungan. Bila waktu hamil sang ibu terbiasa minum alkohol, maka resiko si kecil berkembang menjadi pecandu alkohol pun juga besar.
Dr John S Baer, seorang psikolog dari University of Washington mengatakan: “Jumlah dan frekuensi alkohol yang diminum ibu hamil bisa menjadi patokan berapa besar anak berkembang menjadi alkoholik”. Penelitian ini membuktikan penyebab semakin lama semakin banyak anak yang terlibat masalah alkohol. Baer yang juga mengajar di Addiction Treatment Center mengatakan kalau penelitian ini sebenarnya melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya. Para ilmuwan sudah lama menghubungkan masalah alkoholik dengan lingkungan dan kebiasaan. Dan studi ini adalah yang pertama mengangkat hubungan ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol dengan kemungkinan munculnya masalah alkohol pada si kecil. Penelitian ini membutuhkan waktu yang lama sejak tahun 2974-1975, sekitar 500 ibu hamil yang mempunyai kebiasaan minum alkohol berhasil dikumpulkan. Selanjutnya peneliti mengikuti perkembangan buah hati mereka selama 21 tahun. Penelitian ini tidak sia-sia. “Kami menemukan sekitar 14 persen dewasa muda berusia 21 tahun, yang saat janinnya banyak terpapar alkohol, mengalami sedikitnya 4 sampai 5 kali masalah dengan alkohol. sedangkan anak yang dalam kandungan terpajani sedikit alkohol, hanya 4 persen yang berkembang menjadi pecandu. Memang masalah ini tidak bisa dihubungkan secara langsung. Namun dengan adanya penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan minum semasa hamil bisa menigkatkan resiko anak menjadi pecandu juga. Selain itu, kebiasaan minum alkohol bisa membuat anak lahir cacat atau kurang bulan (premature).
Lain halnya dengan narkoba. Dampaknya lebih berbahaya dari sekedar meneguk minuman keras. “Pemakaian narkoba dapat mengakibatkan gangguan mental atau jiwa yang dalam istilah kedokteran jiwa (psikiatri) disebut gangguan mental organic. Disebut organic karena narkoba ini bila masuk ke dalam tubuh maka langsung bereaksi dengan sel-sel syaraf pusat (otak) serta menimbulkan gangguan pada alam pikir, perasaan, dan perilaku. Paramedis pun telah bersepakat, bahwa heroin dan semisalnya dapat memakan sel-sel otak dan mengakibatkan kerusakan jiwa serta badan manusia. Sedangkan ekstasi merangsang susunan syaraf pusat, terutama syaraf otonom yang mengatur peredaran darah dan pernapasan. Rangsangan ini menyebabkan orang mampu bergerak terus menerus tanpa rasa lelah, tidak tidur semalam suntuk, hilang nafsu makan, dan jika ada suara musik secara refleks kepalanya langsung bergoyang-goyang atau bergeleng-geleng mengikuti alur musik tanpa henti. Dalam dosis tinggi, narkoba akan menyebabkan tekanan darah meningkat sehingga menambah kerja jantung secara paksa dan memungkinkan pecahnya pembuluh darah. Dan sesungguhnya mengonsumsi barang terlaknat ini menyebabkan penderitraan pada manusia secara material maupun moral.
Dari aspek stabilitas keamanan, misalnya, baik nasional maupun internasional, persoalan narkoba saat ini sangat memperihatinkan. Dalam skala nasional banyaknya kejahatan-kejahatan di tanah air erat sekali hubunganya dengan masalah narkoba. Bahkan yang sangat mengerikan bahwa jaringan pengedar narkotika di Bali, Surabaya, dan Jakarta, selama lebih dari dua tahun ini dikendalikan oleh seorang narapidana (napi) laki-laki dewasa kelas I di Tangerang. Napi yang menjadi otak peredaran heroin dan putau tersebut adalah Innocent Iwuofor, seorang warga Negara Nigeria.
Dalam skala internasional, ternyata kegiatan terorisme sering terkait dan erat hubunganya dengan kegiatan perdagangan narkotika ilegal lintas batas negara sehingga kepustakaan mengenai narkotika mengenal dan mengakui kedekatan kegiatan tersebut sebagai narco-terorism. Pasangan dua kegiatan yang berbeda latar belakang tampaknya semakin serasi sejalan dengan perkembangan pasca perang dingin karena kontrol dari negara kuat semakin berkurang terutama setelah hancur leburnya Negeri Unisoviet dan Yugoslavia. Kegiatan mafia kejahatan yang dimotori oleh bekas agen–agen KGB semakin merajalela dan menghalalkan segala cara untuk mengeruk keuntungan berlipat ganda yang tidak pernah akan diperoleh selama rezim Unisoviet masih berdiri utuh. Kegiatan perdagangan ilegal narkotika menjadi salah satu alternative sumber pendanaan bagi kegiatan terorisme dan kejahatan transnasional lainya, seperti perdagangan wanita dan anak-anak serta penyelundupan migran ke beberapa negara.
Paparan di atas menunjukkan bahwa minuman keras, narkotika, dan obat berbahaya merupakan hal yang sangat menarik sekali untuk dikaji secara intensif, guna memberikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi minuman keras, narkotika, dan obat berbahaya yang menjadi permasalahan serius, baik dalam skala nasional maupun internasional.

B. Tinjauan Umum Tentang Miras Dan Narkoba
1. Miras
a. Pengertian Miras (minuman keras)
Minuman keras, sering kali disingkat dengan miras, adalah minuman beralkohol yang diproses dari hasil pertanian dengan jalan fermentasi atau destilasi. Dalam bahasa Arab (Islam) disebut khamer. Jadi, miras di sini adalah semua jenis minuman yang mengandung alkohol (ethanol) dan apabila diminum dapat memabukkan, membuat linglung, dan tidak sadarkan diri. Sekali pun mengandung alkohol (dibawah 20%) dan tidak bereaksi memabukkan, maka berdasarkan Standard Industri Indonesia (SII) tidak dinamakan minuman keras, akan tetapi dinamakan minuman ringan (shoft drink).
b. Macam-macam Miras
Macam-macam miras bisa diketahui melalui sedikit dan banyaknya kandungan ethanol yang terdapat pada setiap jenis minuman keras yang tersedia dan beredar di masyarakat. Dewasa ini minuman beralkohol (ethanol) yang dikonsumsi masyarakat tersedia dalam berbagai konsentrasi mulai dari 5% sampai 50%, seperti: Must dengan kadar ethanol 5-6%, Wine: 10%, Frotified Wine: 15-20%, Beer: 49%, Spirit: 38%, Whiskey US: 43-50%, Whiskey UK: 40%. , Anggur: 7-22%, umumnya 12-14 %, anggur merah: kira-kira 14%, Anggur Putih: kira-kira 10%, Champagne atau Sparking Wine: 10,13-20%, Port dan Sherry (dari jenis Anggur): 20% atau lebih, golongan bir : 4%-7%, Ale: 8-16%, Porter: 8-16%, Bir hitam: 8-16%, Toak (hasil fermentasi nira): 8%, Gin (dihasilkan dengan cara destilasi): 37-54%, Whiskey: 37-53%, Brendy: 37-43% dan sebagainya.
c. Klasifikasi Miras
Minuman beralkohol dikelompokkan dalam golongan sebagai berikut:
1. Minuman beralkohol golongan A, yakni yang memiliki kadar ethanol (C2HOH) sebesar 1% sampai dengan 5%.
2. Minuman beralkohol golongan B, yakni yang memiliki kadar ethanol kurang dari 20%.
3. Minuman beralkohol golongan C, yakni yang memiliki kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%.

d. Pengaruh Miras terhadap Kejiwaan
Minuman keras baru berpengaruh pada kejiwaan, apabila mencapai konsentrasi ethanol dalam darah dengan efek klinik sebagai berikut:
1. 30-100 mg/dl: Eforia sedang, aktif berbicara, hilang hambatan, tidak bisa berkonsentrasi, inkordinasi, tidak bisa berpendapat.
2. 100-200 mg/dl: Emosi tak stabil, Excitement, reaksi lambat, keseimbangan hilang, bicara tidak karuan.
3. 200-300 mg/dl: Binggung, disorientasi, pusing, diplopia, pupil melebar, keseimbangan berkurang.
4. 300-400 mg/dl: Apatis, tidur, muntah, ngompol, tidak mau berdiri.
5. 400 mg/dl: tidak sadar, koma, pernapasan lambat, reflek mata berkurang, temperatur tubuh menurun, hipotensi, shok mati.

C. NARKOBA
a. Pengertian Narkoba
Narkotika dan obat-obat berbahaya yang seringkali disingkat narkoba adalah dua jenis yang berbeda. Pertama, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Kedua, psikotropika dan obat-obat berbahaya adalah zat atau obat, baik alami maupun sintesis, bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
b. Jenis-jenis Narkotika
Narkotika atau obat bius yang dalam bahasa Inggris disebut narcotic adalah semua bahan obat yang mempunyai efek kerja yang pada umumnya bersifat:
1. Membius (menurunkan kesadaran)
2. Merangsang (meningkatkan semangat kegiatan atau aktivitas)
3. Ketagihan (ketergantungan , mengikat, dependence)
4. Menimbulkan daya berkhayal (halusinasi)
Zat ini secara garis besar digolongkan menjadi dua macam: narkotika dalam arti sempit dan narkotika dalam arti luas. Narkotika dalam arti sempit, bersifat alami. Yaitu semua bahan obat opiatin, cocaine, dan ganja. Sedangkan narkotika dalam arti luas, bersifat alami dan syntetic. Yaitu semua bahan obat-obatan yang berasal dari:
a. Papaver Somniferum (opium atau candu, morphine, heroin dan sebagainya)
b. Eryth Roxylon Coca (cocaine)
c. Cannabis Sativa (ganja, hasyisy)
d. Golongan obat-obatan depressant (obat-obat penenang)
e. Golongan obat-obatan stimulant (obat-obat perangsang)
f. Golongan obat-obatan hallucinogen( obat pemicu khayal)
Dr.Shaleh bin Ghonim as Sadlan membagi obat-obat terlarang ini menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Narkotika Natural (Alami)
Yaitu yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti ganja, opium, koka, alkot (cathaedulis) dan lain-lain.
b. Narkotika Semi Sintesis
Yaitu yang dimodifikasi dari bahan-bahan alami (biasanya dari zat kimia yang terdapat dalam opium) kemudian diproses secara kimiawi supaya memberikan pengaruh lebih kuat, seperti morfin, heroin, kokain dan lain-lain
c. Narkotika Sintesis
Yaitu pil-pil yang terbuat dari bahan kimia murni. Pengaruh dan efek yang ditimbulkannya sama dengan narkotika natural atau semi sintesis. Dikemas dalam bentuk kapsul, pil, tablet, cairan injeksi, minuman, serbuk dan berbagai bentuk lainya. Di antaranya adalah berbagai jenis obat tidur seperti kapsul Signal, atau pil perangsang (stimulantia) seperti Kiptagon atau Amphetamine, atau tablet penenang seperti Valium 5 dan derivate-derivatnya yang lain. Termasuk diantaranya pil hallusinogent (pembangkit halusinasi) sepert L.S.D (Lysegic Acid Diethlamide).
Sejalan dengan itu Abu Ghifari membagi narkotika menjadi dua bagian yaitu :
a. Narkotika alam. Jenis natur dari dedaunan dan getah, yang tehnik penggunaanya sangat praktis yang terdiri dari :
1. Bentuk daun, misalnya ganja, wujudnya mirip daun teh kering, warnanya hijau kecoklatan, dan
2. Bentuk getah, misalnya cannabis dan hasyis, wujudnya cairan kental, warnanya coklat tua.
b. Narkotika sintetik jenis yang diolah secara kimiawi, terdiri dari:
1. Bentuk cairan, misalnya morfin (ampul), wujudnya mirip cairan alkohol murni, warnanya bening.
2. Bentuk tablet atau kapsul, misalnya: tablet cosadon, warnanya merah muda, magadon (nitrazwpam 5 mg), warnanya putih, rohipnool warnanya putih, kapsul nembutal, warnanya kuning, trandene 10, warnanya kuning tua.
d. Klasifikasi Narkoba
1. Narkotika
Menurut UU No. 22 Th. 1997 tentang narkotika, pasal 2 ayat 1 ditinjau dari ruang lingkup dan tujuanya, narkotika bisa diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan narkotika golongan III.
Yang dimaksud dengan narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Dan yang dimaksud dengan narkotika golongan II, adalah yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang dimaksudkan dengan narkotika golongan III, adalah narkotika ynag berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
2. Psikotropika
Sebagaimana narkotika, psikotropika pun juga digolong-golongkan atau diklasifikasikan menurut jenisnya. Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, digolongkan menjadi empat golongan , yaitu psikotropika golongan I, golongan II, golongan III, dan psikotropika golongan IV.
Dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dijelaskan, bahwa psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Sedangkan psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan sertam mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.
Sekalipun pengaturan psikotropika dalam undang-undang ini hanya meliputi psikotropika golongan I, golongan II, golongan III, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. Oleh Karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras.

e. Pengaruh atau gejala yang ditimbulkan oleh narkoba
e.1. Psikologi
Meskipun efek narkotika dan psikotropika sering berlainan, namun secara umum benda itu menyerang sistem dan fungsi neotransmitter pada susunan syaraf pusat atau otak. Akibatnya fungsi berfikir, berperasaan dan berperilaku dari si pemakai atau pecandu akan terganggu. Misalnya semangat berlebihan, gelisah, dan tidak bisa diam, tidak bisa tidur, dan tidak bisa makan. Dalam jangka panjang, penggunaan obat ini dapat menimbulkan fungsi otak terganggu dan bisa berakhir dengan kegilaan.
Bila si pemakai sudah sampai pada tingkat pecandu, kemudian ia tidak memakainya, maka pengaruh yang dapat dirasakan, antara lain cepat marah, tidak tenang, cepat lelah, tidak bersemangat, dan ingin tidur terus.
e.2. Fisiologis
Efek yang ditimbulkan oleh narkotika dan psikotropika terhadap fisik, antara lain menurunya kekebalan tubuh dan rusaknya beberapa fungsi organ tubuh, baik organ dalam seperti jantung, paru-paru, liver, hati dan lain sebagainya, juga organ luar seperti pupil mata mengecil , bicara cadel, mulut kering, dan alat-alat indera lainya.
Dari uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa narkoba adalah racun yang bukan saja merusak seseorang secara fisik tapi juga merusak jiwa dan masa depan penggunanya. Secara fisik, kekebalan tubuh semakin lama semakin ambruk, sementara mentalitasnya sudah terlanjur ketergantungan dan membutuhkan pemenuhan narkoba dalam dosis yang semakin tinggi. Jika dia tidak berhasil menemukan narkoba, maka tubuh akan mengadakan reaksi yang menyakitkan, diantaranya sembelit, muntah-muntah, kejang-kejang, dan badan menggigil yang dikenal dengan sakau. Untuk itu para pecandu narkoba tidak bisa lepas dari ketergantungan, hingga memerlukan terapi cukup lama.
Penyalahgunaan narkoba dapat mengakibatkan gangguan mental atau jiwa yang dalam istilah kedokteran jiwa (psikiatri) disebut gangguan mental organic. Disebut organic karena narkoba ini bila masuk ke dalam tubuh langsung bereaksi dengan sel-sel saraf pusat (otak) dan menimbulkan gangguan dalam alam pikir, perasaan danperilaku. Kondisi demikian dapat dikonseptualisasikan sebagai gangguan jiwa karena narkoba.

D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Miras dan Narkoba
1. Miras
a. Pengertian Miras menurut Hukum Islam
Miras dalam Islam disebut dengan khamer. Sedangkan kata khamer berasal dari kosa-kata Arab khamara-yakhmuru atau khamara yakhmiru, yang berarti tertutup atau terhalang. Karena itu, minuman tersebut sifatnya dapat menutupi akal dan pikiran sehat peminumnya dari mengerjakan perintah-perintah agama (Allah dan rasulnya). Khamer dibuat dari perasan atau sari buah anggur. Bisa disebut khamer juga setiap perasan atau sari buah yang difermentasi atau didestilasi, atau dilakukan peragian sehingga berefek memabukkan.
Namun untuk yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh kalangan ulama fikih, misalnya:
1. Imam Abu Hanifah
Ia berpendapat, bahwa khamer adalah minuman yang memabukkan dan hanya terbuat dari perasan anggur saja. Sedangkan minuman memabukkan yang terbuat dari bahan selain perasan anggur, ia tidak dimasukkanya ke dalam kategori khamer, akan tetapi menamakanya dengan sebutan nabidz. Sebagaimana pernyataannya sebagai berikut ini:
اَلْخَمْرُ الشَّرَابُ الْمُسْكِرُ مِنْ عَصِيْرِ الْعِنَبِ فَقَطْ وَأَمَّا الْمُسْكِرُ مِنْ غَيْرِهِ كَالشَّرَابِ مِنَ التَّمْرِ وَالشَعِيْرِ فَللا يُسَمَّى خَمْرًا بَلْ يُسَمَّى نَبِيْدًا وَهَذَا مَذْهَبُ الْكُوْفِيِّيْنَ وَالنَّخَعِيْ وَالنَّوَوِيْ وَاِبْنُ أَبِيْ لَيْلِى
“Khamer adalah minuman yang memabukkan yang berasal dari perasan anggur saja. Adapun yang memabukkan dari selain anggur, seperti minuman yang terbuat dari perasan kurma dan gandum, maka tidak dinamakan khamer, akan tetapi dinamakan nabidz. Ini adalah madhabnya ulama Kufah, Al-Nakha’I, Al-Tsauri dan Ibnu Laila”
Dengan pendapatnya tersebut, ia mengemukakan dua alasan :
a. Karena alasan bahasa. Mereka berpegang pada kata-kata Abu al-Aswad al –Du’ali sebuah sya’irnya yang berbunyi sebagai berikut :
دَعِ الْخَمْرَ تَشْرَبُهَا الْغَوَاةَ فَإِنَّنِى رَأَيْتُ أَخَاهَا مُغَنِّيًا بِمَكَانِهَا
فان لا تكنه أو يكنها فإنه أخوها غدثه أمه بلبانها
“Biarlah khamer itu diminum orang-orang yang sesat,
Karena aku yakin bahwa sang pemabuk tetap menyanyikan (membela) keberadaanya”
“Baik Khamer itu tak ada untuknya atau sang pemabuk tak memilikinya.
Sesungguhnya mereka berdua adalah saudara yang pernah disusui seorang ibu”
Dengan alasan ini mereka berpendapat bahwa sesungguhnya nabidz bukan termasuk khamer. Dan yang dinamakan khamer adalah sesuatu (minuman) yang sangat keras (memabukkan) yang berasal dari perasan anggur.
b. Karena alasan agama, (berlandaskan sunnah nabi). Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id al Khudri :
أتى النبي صلى الله عليه وسلم بنشوان فقال له أشربت خمرا؟ قال ما شربتها منذ حرمها الله ورسوله قال وماذا شربت قال الخليطين قال فحرم رسول الله صلى الله عليه وسلم الخليطين
“Ketika Nisywan datang kepada rasulullah, beliau berkata kepadanya: Apakah kau minum khamer? Ia menjawab: saya tidak meminumnya sejak Allah dan rasulnya mengharamkan. Kalau begitu apa yang kau minum? Ia menjawab: Dua campuran. Maka rasulullah mengharamkan kedua campuran tersebut”.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa peminum meniadakan penamaan khamer dari dua campuran minuman dihadapan rasulullah sedangkan beliau tidak mengingkarinya.
2. Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama)
Di antara mayoritas ini, antara lain, adalah Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat:
أن الخمر إسم لكل شراب مسكر سواء كان من عصير العنب أو التمر أو الشعير أو غيره. وهو مذهب جمهور المحدثين وأهل الحجاز.
“Khamer adalah nama (sebutan) bagi setiap minuman yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum, atau lainnya. Ini merupakan pendapat mayoritas dari kalangan ahli hadis dan ulama Hijaz”
Alasan mereka bahwa yang dinamakan khamer adalah segala sesuatu yang memabukkan, menjadi sangat kuat sekali dengan ditopang beberapa dalil hadits berikut:
1. Hadis Ibnu Umar yang mengatakan
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام (رواه أبو داود عن أبي عمر)
“Segala yang memabukkan adalah khamer, dan segala yang memabukkan hukumnya haram.”(H.R. Abu DAud dari Ibnu Umar).
2. Hadis Ibnu Umar
نزل تحريم الخمر يوم نزل وهي من خمسة: من العنب، والتمر والحنطة والشعير والدرة والخمر ما خامر العقل (رواه أبو داود)
“Khamer diharamkan semenjak ditetapkan keharamanya, dan khamer yang dimaksud yang terbuat dari lima hal: anggur, kurma, biji gandum, jewawud (jelai), dan sari pati. Khamer adalah apa yang dapat menutupi akal“.(H.R. Abu Daud).
3. Hadis Ummi Salimah
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كل مسكر ومفتر (رواه أبو داود عن أم سلمة رضي الله عنها).
“Rasulullah melarang segala minuman yang memabukkan dan menutupi akal .”(HR. Abu Daud dari Ummi Salamah RA).
4. Hadis Abu Hurairah:
حدثني زهير بن حرب حدثنا اسماعيل بن ابراهيم أخبرنا الحجاج بن أبي عثمان حدثني يحي بن أبي كثير أن أبا كثير حدثه عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم الخمر من هاتين الشجرتين النخلة والعنبة (رواه مسلم)
“Zuhair bin Harb bercerita padaku, bahwa Isnai’l bin Ibrahim telah bercerita kepada kita, kita telah mendapatkan kabar dari Al Hajjaj bin Abi Usman, bahwa Yahya bin Abi Katsir bercerita padaku sesungguhnya Aba Katsir mendengar Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw, bersabda : khamer itu terbuat dari kedua pohon ini, yaitu kurma dan anggur”.(H.R.Muslim).
5. Hadits Anas:
حدثنا أحمد بن يونس حدثنا أبو شهاب عبد ربه بن نافع عن يونس عن ثابت البناني عن أنس حرمت علينا الخمر حين حرمت وما نجد يعني بالمدينة خمر الاعناب إلا قليلا وعامة خمرنا البسر والتمر. (رواه البخاري)
“Ahmad bin Yunus bercerita kepada kita, bahwa Abu Syihab Abdu Rabbih bin Nafi’, dari Yunus, (ia) dari Tsabit Al Bunnani, (ia) dari Anas telah bercerita kepada kita, diharamkan khamer semenjak ditetapkan keharamanya, dan di Madinah kami tidak mendapatkan khamer yang terbuat dari anggur, kecuali hanya sedikit. Sedangkan umumnya khamer kita kebanyakan terbuat dari kurma atau kurma yang masih muda.”
Al-Fahru al Rozi berpendapat bahwa hal di atas merupakan argumentasi yang paling kuat dalam hal menamakan khamer dalam pengertian semua yang memabukkan.
Al-Imam al-Alusi pun juga mengemukakan komentarnya sebagai berikut:
وعند أن الحق الذي لا ينبغي العدوءل عنه أن الشراب المتخد مما عدا العنب كيف كان ويأي اسم سمي متى كان بحيث يسكر حرام وقليله ككثيره ويحد شاربه ويقع طلاقه ونجاسته غليظة.
“Menurut saya, sesungguhnya yang benar dan tidak boleh diingkari, bahwa minuman yang dibuat dari apa saja selain anggur, apapun adanya serta apapun namanya, sekiranya memabukkan maka hukumnya haram. Baik sedikit maupun banyak. Peminumnya dikenai hukuman had, talaknya dianggap sah serta najisnya terhitung najis mughalladhah”
Dari berbagai argumentasi di atas, Muhammad Ali al-Shabuni berpendapat bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang memabukkan adalah khamer.
Selain permasalahan di atas, yang juga menjadi perbincangan para ulama adalah bentuk zat dari khamer. Muhammad al-Zuhri al –Ghamrawi menyatakan:
المراد من شاربه المتعاطى له ولو جامدا حيث كان أصله مائعا.
“Yang dimaksudkan dengan peminumnya adalah orang yang mengonsumsi khamer, sekali pun berupa zat padat, adalkan berasal dari zat cair”
Dari pernyataan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan khamer harus berupa zat cair atau zat padat yang berasal dari zat cair. Oleh karena itu yang tidak berbentuk zat cair (minuman), seperti: ganja, opium, dan sebagainya bukan termasuk khamer. Oleh karenanya, tidak berlaku hukuman had bagi penggunanya (peminumnya). Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim al –Bajuri yang mengatakan:
وخرج بالشراب النبات كالحشيشة والافيون ونحوهما فلا حد فيه وإن حرم ما يخدر العقل منه بخلاف ما لا يخدر العقل منه لقلته فلا يحرم لكن ينبغي كثم ذلك من العوام.
“Dikecualikan dari minuman (syarab), tumbuh-tumbuhan seperti ganja, opium, dan lainya, maka tidak diberlakukan hukum had, sekalipun semua itu haram dan menutupi akal. Tetapi sebaiknya hal tersebut dijauhkan dari pandangan orang awam”
Dari ulasan di atas, secara definitive, khamer bisa diartikan sebagai: Zat cair atau zat padat yang berasal dari zat cair yang disajikan untuk minuman, yang apabila diminum akan mengakibatkan mabuk atau tertutupnya akal. Dengan demikian sekalipun berupa zat cair, tetapi tidak disajikan untuk diminum, tidak termasuk kategori khamer, seperti alkohol dan sebagainya.

b. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Miras (Khamer)
Sebagian telah dimaklumi, bahwasanya al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dalam mengatur segala persoalan kehidupan. Kemudian setelah itu secara berurutan adalah: Sunnah rasul (al-Hadis), Ijma’, dan yang terakhir adalah Qiyas. Dengan bersandar pada empat hal inilah segala persoalan sosial baik yang sudah terjadi , maupun yang sedang dan akan terjadi, ditetapkan sebagai aturan – aturan hukum yang harus ditaati. Karena al-Qur’an diturunkan oleh Allah ke dunia diperuntukkan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surat Al-Anbiya’, ayat 107:
     
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Secara universal, kandungan isi al-Qur’an, mencakup persoalan sosial, yang terdiri dari :
1) Ilmu-ilmu tentang hokum.
2) Ilmu–ilmu tentang jidal (dialog).
3) Ilmu–ilmu tentang bagaimana orang mengingat-ingat kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
4) Ilmu-ilmu tentang peringatan terhadap manusia akan adanya hari pembalasan.
5) Ilmu–ilmu tentang kematian dan kehidupan setelah mati.
Masalah minuman keras memang sudah ditetapkan keharamanya di dalam al-Qur’an. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan aturanya di dalam al-Qur’an , wajib ditaati dan tidak boleh seorang pun mengingkarinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas sebagai berikut:
إذا جمعنا وأثبتناه في صدرك فاعمل به. وقد خص بالكتاب المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم، فصار له كالعلم.
“Apabila telah kami kumpulkan dan kami tetapkan al-Qur’an di hatimu, maka berbuatlah kamu dengannya. Yang dimaksudkan Ibnu Abbas adalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.maka jadilah al-Qur’an itu baginya bagaikan ilmu.”
Setelah melalui perdebatan panjang di kalangan para ulama’ dalam menentukan apakah sesunguhnya khamer tersebut, pada akhirnya bisa disimpulkan bahwa mereka (ulama) terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
Pertama, adalah golongan Hanafiyah. Mereka memutuskan bahwa khamer adalah: “Minuman yang memabukkan yang terbuat dari perasan anggur”. Sedangkan yang terbuat dari selain anggur tidak disebut khamer, akan tetapi disebut nabidz.
Kedua, adalah golongan jumhur ulama, yaitu Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Mereka memutuskan bahwa khamer adalah:”Nama (sebutan) bagi setiap minuman yang memabukkan , baik terbuat dari perasan anggur, kurma, gandum atau yang lainnya.”
Setelah mencermati perbedaan pendapat tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa secara definitive khamer adalah: “Zat cair atau zat padat yang berasal dari zat cair yang disajikan untuk minuman, yang apabila diminum akan mengakibatkan mabuk atau tertutupnya akal fikiran”.
Islam memandang khamer sebagai sesuatu yang kehadiranya akan menimbulkan mafsadat atau kerusakan dalam perjalanan hidup manusia. Oleh karenanya khamer harus dijauhkan dari segala aktifitas manusia, agar bisa mendapatkan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat. Firman Allah dalam al -Qur’an, surat Al-Maidah, ayat 90 menyatakan:
               
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum (khamer), berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Kata rijs(رجس ) dalam ayat di atas, sekalipun oleh kebanyakan orang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata “keji”, sesungguhnya merupakan terjemahan yang kurang tepat (kurang pas). Karena dalam ayat di atas, perbuatan (keji) itu dinyatakan sebagai bagian dari syaitan. Kesimpulannya, orang yang minum khamer telah mengambil alih satu perbuatan dari perbuatan-perbuatan syaitan. Sebagaimana diinformasikan al-Qur’an , bahwa syaitan adalah musuh bagi manusia, dan manusia harus memposisikanya sebagai musuh yang nyata. Bukan hanya Islam yang menyatakan bahwa syaitan adalah musuh bagi manusia, tetapi hampir semua agama dan keyakinan menyatakan bahwa syaitan adalah musuh yang selalu bertujuan untuk menyesatkan dan merusak sendi-sendi agama yang bertujuan memelihara kelangsungan dan keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Untuk memberikan pemeliharaan terhadaap kelangsungan dan keselamatan serta kebahagiaan hidup yang dimaksud, Imam Syathibi, menetapkan lima tujuan yang paling mendasar dengan diturunkanya syari’at Islam. Lima tujuan dasar itu, ia menyebutnya dengan al dlaruriyyah al khams, yang diantaranya, Hifdzu al din (menjaga agama), Hifdzu al nasl (menjaga keturunan), Hifdzu al mal (menjaga harta), Hifdzu al aql (menajga akal), Hifdzu al I’rdli (menjaga harga diri).
Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia yang wajib dijaga. Oleh karena itu datangnya khamer yang berpotensi merusak, harus dihindarkan jauh-jauh dengan tujuan untuk:
1) Menjaga agama
Agama merupakan suatu keyakinan yang mengatur perjalanan hidup manusia demi mencapai kebahagiaanya di dunia maupun akhirat. Oleh karena itu agama merupakan kebutuhan asasi manusia yang harus dihormati dan dijaga dari segala hal yang merusaknya. Baik dalam hubunganya antara manusia dengan sesame (muamalah), maupun dengan penciptanya (ibadah). Baik dalam bidang muamalah maupun ibadah, kesehatan jasmani dan rohani merupakan kebutuhan fital yang tidak boleh ditiadakan. Sebab itulah minum khamer yang berpotensi merusak ditetapkan sebagai perbuatan syaitan. Ibadah, (khususnya shalat) merupakan perintah Allah yang harus dijalankan dengan sepenuh hati dan ikhlas, serta dalam konsentrasi maksimal. Yaitu melaksanakan ibadah penuh dengan kesadaran berfikir serta hadirnya hati yang diikuti dengan gerakan-gerakan anggota badan secara teratur dan tuma’ninah. Kehadiran khamer (miras) yang berpotensi merusak akal dan jiwa serta membuat lemahnya fisik, sangat bertentangan dan bahkan bisa mengacaukan perbuatan shalat tersebut. Oleh karena itu Islam melarang orang mendekati perbuatan shalat ketika dalam keadaan mabuk. al-Qur’an suran An-Nisa’:
            
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Ayat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan larangan tentang shalat. Karena shalat merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Hanya saja ayat tersebut menjelaskan bahwa shalat tidak boleh didekati(dikerjakan) ketiak orang itu dalam keadaan mabuk. Artinya fokus larangan dalam ayat tersebut adalah larangan mabuk (minum khamer). Karena ketika orang itu mabuk , jiwa, raga, dan fikiranya terganggu, hingga ia tidak menyadari apa yang ia ucapkan di dalam shalat, dan tidak pula menyadari akan gerakan-gerakan yang ia kerjakan di dalamnya. Hal semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan syari’at dalam hal shalat atau ibadah-ibadah yang lainnya.
2) Menjaga Keturunan.
Majunya ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan jawaban tegas bahwa minuman keras ternyata berakibat buruk pada generasi penerus. Bahaya minuman keras, bukan hanya mengancam peminumnya saja. Namun secara tidak manusiawi, anak yang masih kecil, bahkan ketika anak masih berada dalam kandungan , sudah terpengaruh (mengalami gangguan-gangguan kesehatan) manakala ketika sang ibu hamil terbiasa minum alkohol. Bahkan resiko si kecil berkembang menjadi pecandu alkohol pun besar. Masalah ini dikemukakan dalam suatu studi: “Jumlah dan frekuensi alkohol yang diminum ibu hamil bisa menjadi patokan berapa besar anak berkembang menjadi alkoholik. . Pengaruh buruk alkohol atau miras tidak hanya berpengaruh fisik saja, melainkan juga berpengaruh pada karakter atau akhlak si anak, yang dalam pepatah Jawa dikatakan “kacang ora ninggalno lanjaran”. Artinya seseorang meniru keadaan akhlak orang tuanya.
3) Untuk menjaga harta
Orang hidup tidak mungkin bisa dipisahkan dari harta. Artinya tanpa harta orang tidak akan bisa hidup. Oleh karena itu harta termasuk kebutuhan asasi yang harus dipenuhi dan dijaga. Membelanjakan harta ke jalan yang tidak benar (untuk minuman keras atau khamer) merupakan perbuatan yang tidak ada artinya dan sia-sia atau mubadzir, sekaligus merupakan perbuatan syaitan yang seharusnya dijauhi. Sebagaimana al-Qur’an , surat Al-Isyra’ ayat 27 menyatakan :
•          
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhanya”.

4) Untuk menjaga akal
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa akal adalah sesuatu yang amat penting bagi manusia. Dengan akalnya manusia bisa mengetahui tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Dan dengan akalnya pula manusia akan mendapatkan kebahagiaanya. al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 242 menegaskan sebagai berikut:
       
“Demikian Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.”
Mengenal Tuhan adlaah suatu kebahagiaan tersendiri bagi orang yang mengerti apa artinya hidup dalam naungan agama. Irulah sebabnya pada suatu ketika Siti A’isyah menyatakan sebagai berikut:
قد أفلح من جعل الله له عقلا.
“Sungguh berbahagialah orang-orang yang diberi akal oleh Allah.”
Demikian halnya Al Hasan Ra. Dalam suatu komentarnya ia mangatakan:
ما يتم دين الرجل حتى يتم عقله وما أودع الله امرءا عقلا إلا استنفذه به يوما
“Tidaklah sempurna agama seseorang hingga sempurna akalnya, dan Alloh tidak menitipkan akal kepadanya kecuali pada suatu hari Allah berkenan menyelamatkanya”.
Ia berkomentar demikian tidak lain karena memandang betapa akal itu merupakan sesutau yang sangat berharga baginya. Agama seseorang tidak akan sempurna jika akalnya tidak sempurna. Dan keselamatan seseorang pun tergantung pada kesempurnaan akalnya pula.

5) Untuk menjaga Kehormatan
Mengkonsumsi minuman keras, tidak hanya menyebabkan rusaknya fisik, dan kerugian harta saja, melainkan juga menyebabkan penderitaan manusia secara moral atau kejiwaan serta menterlantarkan keluarga yang seharusnya dijunjung tinggi. Para ahli dibidang kedokteran menyatakan:
وكثر من مدمن أضاع نفسه وضيع من يعول ولجأ إلى الإجرام ليجد المال يستخدمه في هلاك نفسه وأهله وإضعاف أمته ووطنه بتعاطي هذه السموم
“Tidak sedikit orang yang kecanduan (selalu minum khamer), akhirnya kehilangan kepedulian terhadap dirinya sendiri , keluarga, bahkan menyeret dirinya untuk berbuat kriminal lainya demi mendapatkan harta untuk menghancurkan dirinya sendiri, keluarga, bahkan memperlemah umat dan negaranya”.
Realitas sosial menunjukkan bahwa banyak sekali kejadian-kejadian kriminal. Yang disebabkan karena pelakunya dalam keadaan mabuk. Perbuatan tersebut dilakukan diluar kesadarannya. Karena otak (pikiran) orang yang sedang mabuk khamer, terganggu oleh serangan alkohol pada syaraf pusatnya. Dalam kitabnya Dalil al Sailin dituturkan:
قال أعربي: الخمر رأس الشرور وأصل البلايا وسبب الدمار.
“Berkatalah seorang Badui, minuman keras (khamer) adalah pangkal semua kejahatan , asal segala bencana dan sebab segala kerusakan.”
Dengan demikian jelaslah bahwa miras (khamer) merupakan penyebab segala terjadinya perbuatan jahat (criminal), sesuai dengan al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 91:
                     
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kamu mengingat Allah dan sembahyang, maak berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Setelah mencermati ulasan di atas, secara garis besar bisa disimpulkan bahwa miras adalah sesuatu yang sangat merugikan, karena adanya daya perusaknya sangat besar terhadap sendi-sendi kehidupan, yaitu: agama, keturunan, harta, akal dan harga diri manusia.

c. Pertimbangan Hukum Islam terhadap Miras (Khamer)
Proses yang panjang dalam perjalanan manusia bersama minuman keras (khamer), pada akhirnya membuahkan suatu ketetapan bahwa miras adalah sebagai sesuatu yang dilarang (diharamkan)
Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan dampak negatip yang ditimbulkan oleh miras, yaitu:
1). Miras sebagai faktor penyebab terganggunya agama
2). Miras sebagai faktor penyebab terganggunya keturunan
3). Miras sebagai faktor penyebab terganggunya harta.
4). Miras sebagai faktor penyebab terganggunya akal
5). Miras sebagai penyebab terganggunya harga diri.
Maka berdasarkan:
1. Q.S. Al-Baqarah 219-220:
           ••                                                •    
“Tentang dunia dan akhirat, Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Menurut urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu, dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijak….”(220).
2. Q.S. Al-Maidah 90
               
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum (khamer), berjudi (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

3. Q.S. Al-Maidah 91
                     
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamer dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, amak berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
4. Hadits Anas
عن أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم جلد في الخمر بالجريد والنعال ثم جلد أبو بكر أربعين فلما كان عمر ودنا الناس من الريف والقرى قال: ما ترون في جلد الخمر فقال عبد الرحمن بن عوف: أرى أن تجعلها كأخف الحدود فجلد عمر ثمانين (رواه الأربعة)
“Dari Anas RA. Bahwasanya nabi Muhammad SAW, menjilid (melaksanakan hukuman had) dengan menggunakan pelepah kurma dan sandal. Kemudian Abubakar menjilid 40 kali. Ketika sampai pada giliranya Umar, sedangkan manusia mulai berdatangan dari pedesaan, beliau bertanya: apa pendapatmu tentang penjilitan terhadap masalah khamer? Seraya Abdurrahman bin Auf menjawab: aku melihat bahwa engkau menjilid dengan hukuman had yang paling ringan. Maka selanjutnya Umar menjilid sebanyak 80 kali.”
5. Hadits Abu Hurairoh
قال أبو هريرة رضي الله عنه: أتي النبي صلى الله عليه وسلم برجل قد شرب قال: اضربوا فمنا الضارب بيده والضارب بنعله والضارب بثوبه فلما انصرف قال بعض القوم: أخزاك الله قال عليه الصلاة والسلام: لا تقولوا هكذا لا تعينوا عليه الشيطان (رواه البخاري وأبو داود)
“Berkatalah Abu Hurairoh RA, seorang laki-laki peminum khamer didatangkan kehadapan Rosululloh, seraya beliau berkata: Pukullah dia. Maka diantara kita (para sahabat nabi) ada orang yang memukul dengan tanganya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada yang memukul dengan pakaianya. Setelah lelaki tersebut pergi, sebagian kaum mengatakan semoga Allah menghinakan kamu. Maka bersabdalah Rosulullah SAW, jangan kau katakana demikian, jangan kau memberikan pertolongan kepada syetan atas dia”. (HR. Al-Bukhori dan Abu Daud)
Hukum Islam, menetapkan bahwa khamer adalah barang diharamkan. Barang siapa melanggar, berarti ia berbuat melawan hukum. Bagi peminumnya dikenakan hukuman had atau dicambuk (dipukul) sebanyak 40 kali. Berdasarkan hadits ini juga, hukuman had bisa ditingkatkan menjadi 80 kali, apabila hakim memandang perlu. Hal itu dilakukan manakala hakim melihat masalah dalam pemberatan hukuman had tersebut. Seperti apabila peminum sudah berkali-kali dijatuhi hukuman had tetapi tidak juga jera.
Adapaun alat yang dipergunaakn untuk memukul, boleh dengan segala sesuatu yang apabila dipukulkan bisa menimbulkan rasa sakit (bisa membuat si peminum jera), berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Bukhori dan Abu Daud di atas, maka dengan demikian jelaslah bahwa persoalan alat untuk mencambuk atau melaksanakan hukuman had, menjadi kewenangan hakim.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa khamer atau miras dalam tinjauan (perspektif) hukum Islam adalah:
1) Hukumnya haram.
2) Peminumnya dikenakan hukuman had (dicambuk 40 kali hingga 80 kali), menurut keputusan hakim.
3) Penentuan alat untuk hukuman had, merupakan wewenang hakim.
2. Narkoba
a. Pengertian Narkoba Menurut Hukum Islam
Narkoba yang dikenal sekarang ini, sesungguhnya tidak pernah ada pada masa permulaan Islam. Bahkan tidak satu ayat-pun dari ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadis Nabi yang membahas masalah tersebut. Pembahasan pada waktu itu hanya berkisar pada permasalahan khamer saja, sebagaimana ulasan sebelumnya.
Adapun narkoba yang dalam istilah agama Islam disebut mukhoddirot, baru dikenal oleh umat Islam pada akhir abad ke 6 H. itupun masih terbatas pada ganja. Yaitu ketika bangsa Tartar memerangi atau menjajah negara-negara Islam. Pada waktu itulah orang-orang Islam yang masih lemah imanya, dan orang-orang fasiq dari kalangan umat Islam terpengaruh dan kemudian mengkonsumsi barang tersebut. Baru setelah itu persoalan ganja dikenal dan tersebar dikalangan umat Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah membahas panjang dan lebar mengenai tumbuhan marihuana (dalam bahasa Arab disebut Hasyisyah) yang ternyata belakangan ini tergolong narkotika. Hasil kajiannya dapat ditemukan dalam kitabnya yang berjudul Majmu’ al-Fatawa. Diantaranya ia menyatakan sebagai berikut:
... وهذه الحشيشة فإنه أول ما بلغنا أنها ظهرت بين المسلمين في أواخر المائة السادسة وأوائل السابعة حيث ظهرت دوله التتر، وكان ظهورها مع ظهور سيف جنكسخان...
“Sesungguhnya awal dikenalnya ganja oleh umat Islam adlaah pada akhir abad ke 6 H atau abad ke 7 H, yaitu ketika bangsa Tatar dengan panglimanya bernama Jenghis Kan merambah kewilayah Negara Islam.”
Begitu juga Syaikh Muhammad Ali Husin Al-Maliki RA. Menyatakan bahwa marihuana belum pernah dibahas oleh ulama-ulama mujtahidin pada masanya, dan belum pernah juga dibicarakan oleh ulama-ulama salaf. Karena sesungguhnya ganja atau marihuana tersebut tidak dikenal pada waktu itu. Tumbuhan ini baru dikenal dan tersebar pada akhir abad ke 6, yaitu pada masa pendudukan bangsa Tatar. Hal ini diketahui dari pernyataan yang termuat dalam kitab Tahdziful furuq sebagai berikut:
اعلم ان النبات المعروف بالحشيشة لم يتكلم عليه الأئمة المجتهدون، ولا غيرهم من علماء السلف لأنه لم يكن في زمنهم وإنما ظهر في أواخر المائة السادسة وانتشر في دولة التتار.
“ketahuilah sesungguhnya tumbuh-tumbuhan yang dikenal dengan nama marihuana(ganja) belum pernah dibahas oleh ulama-ulama mejtahidin, dan belum pernah juga dibicarakan oleh ulama-ulama slaaf. Karena sesungguhnya ganja atau marihuana tersebut tidak ada pada zaman mereka. Barang tersebut baru dikenal dan tersebar pada akhir abad ke 6, yaitu pada masa pendudukan bangsa Tatar.”
Sejak itulah ulama-ulama Islam mulai mendiskusikan dan memperdebatkan permasalahan narkoba, baik dalam pengertianya, jenisnya, macam-macamnya serta segala sesuatu yang terkait denganya. Dalam kenyataan al-Qur’an dan Al-Hadis tidak pernah membahas secara langsung persoalan narkoba tersebut. Bahkan tidak pernah membahas jenis tumbuh-tumbuhan tertentu, yang kemudian hari dinyatakan sebagai tumbuhan (tanaman) terlarang. Kini narkoba menjadi permasalahan umat, yang menuntut para ulama untuk segera memberikan jawaban tentang hukumnya yang pada kenyataanya barang tersebut memang memabukkan. Ini artinya antara miras dan narkoba memiliki kesamaan sifat (illat), yaitu iskar atau sifat memabukkan.
b. Tinjauan hukum Islam terhadap Narkoba
Sekalipun narkoba memiliki kesamaan sifat iskar dengan miras, namun secara definitive menunjukkan adanya perbedaan. Karena miras berupa zat cair sedangkan narkoba tidak. Dari sini muncul pertanyaan apakah narkoba yang memiliki dasar kesamaan iskar dengan miras, juga memiliki potensi muatan hukum yang sama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui dahulu sumber hukum yang dipergunakan di dalam hukum Islam yang sudah menjadi kesepakatan para yuris (dalam hal ini ulama Syafi’iyah), yaitu: al-Qur’an, al-Hadis, dan Qiyas.
Sebagaimana mereka telah sepakat bahwa dalil –dalil tersebut adalah sebagai alat istidlal (menetapkan dalil suatu peristiwa) juga telah sepakat tentang tertib atau jenjang dalam beristidlal dari dalil-dalil tersebut.
Diatas telah dijelaskan bahwa baik al-Qur’an maupun Al-Hadis , tidak pernah menjelaskan secara langsung persoalan narkoba. Begitu juga halnya dengan ijma’, baik dari para sahabat nabi maupun ulama mujtahid. Karena pada masa itu narkoba memang belum dikenal. Oleh karena itu alternative terakhir dalam memutuskan hukumnya narkoba adalah melalui jalan qiyas.
Secara etimologis kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut terminology hukum Islam, Al-Imam Al-Ghozali mendefinisikan qiyas sebagai berikut:
حمل معلوم على معلوم في اثبات حكم لهما أونفيه عنهما يأمر جامع بينهما من اثبات حكم أونفيه عنهما.
“Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum.”
Karena sifat Iskar yang berpengaruh di dalam penggunaan narkoba sangat ditentukan oleh besar kecilnya kadar yang dikonsumsi, maka hasil penetapan besar kecilnya muatan hukum narkoba tersebut harus disesuaikan dengan qiyas yang dipergunakan. Apakah qiyas awlawi (yaitu qiyas yang berlkunya hukum furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada asal karena kekuatan illat pada furu’). Atau dengan menggunakan qiyas musawi (qiyas yang berlakunya hukum furu’ sama keadaanya dengan berlakunya hukum asal karena kekuatanillatnya sama). Ataukah menggunakan qiyas adwan (qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada asal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
c. Pertimbangan hukum Islam terhadap Narkoba
Pada pasal miras menurut hukum Islam telah dijelaskan bahwa seperti epium dan sebagainya, tidak diberlakukan hukuman had. Karena pada kenyataanya narkoba bukanlah miras. Untuk itu diperlukan qiyas sebagai alat beristidlal. Dengan maksud untuk menentukan hukuman bagi pelaku penyalahgunaan narkoba secara pasti dan adil. Oleh karena itu mekanisme penetapanya diserahkan kepada yang berwewenang atau hakim. Kalau menurut pandangan hakim, penyalahgunaan narkoba itu kadarnya di bawah standar miras, maka hakim menggunakan qiyas adwan. Dan hukuman yang dijatuhkan , potensinya berada di bawah hukuman had. Akan tetapi kalau penyalahgunaan narkoba itu sama kadarnya dengan miras, maka qiyas yang harus dipergunakan adalah qiyas musawi. Dan hukuman yang ditetapkan dipersamakan dengan hukuman had. Bergitu juga apabila penyalahgunaan narkoba itu kadarnya lebih besar dari pada miras, maka yang dipergunakan adalah qiyas aulawi. Dan hukuman yang ditetapkan harus lebih berat dari hukuman miras sesuai dengan muatan kadar narkoba yang dikonsumsi atau disalahgunakan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sepanjang narkoba dipergunakan di jalan benar, maka Islam masih memberikan toleransi. Artinya narkoba dalam hal-hal tertentu boleh dipergunakan, khususnya pada kepentingan medis pada tingkat – tingkat tertentu:
a. Pada tingkat darurat. Yaitu pada aktifitas pembedahan atau operasi besar, yakni operasi pada organ-organ tubuh yang vital seperti hati, jantung, dan lain-lain. Yang apabila dilaksanakan tanpa diadakan pembiusan total, kemungkinan besar si pasien akan mengalami kematian.
b. Pada tingkat kebutuhan atau hajat. Yaitu pada aktifitas pembedahan yang apabila tidak menggunakan pembiusan, pasien akan merasakan sangat kesakitan, tetapi pada akhirnya akan mengganggu jalanya pembedahan. Walaupun tidak sampai pada kekhawatiran matinya si pasien.
c. Tingkatan bukan darurat dan bukan hajat. Yaitu tingkatan pada aktifitas pembedahan ringan yakni pembedahan paada organ tubuh yang apabila tidak dilakukan pembiusan, tidak apa-apa. Seperti pencabutan gigi, kuku, dan sebagainya. Namun pasien akan merasakan kesakitan juga.


Setelah melalui proses diskusi dan perdebatan panjang, akhirnya para ulama sampai pada kesepakatan bahwa narkoba adlaah haram, karena pada narkoba terdapat illat (sifat) memabukkan sebagaimana pada khamer, sekalipun mekanisme hukumanya berbeda. Hal ini selaras dengan pernyataan Ibnu Taimiyah yang berbunyi:
قال شيخ الإسلام- رحمه الله-: "أكل هذه الحشيشة الصلبة حرام، وهي من أخبث الخبائث المحرمة، وسواء أكل منها قليلا أو كثيرا، لكن الكثير المسكر منها حرام باتفاق المسلمين"
“Berkatalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah r.a. mengkonsumsi ganja hukumnya adalah haram, bahkan termasuk sejelek-jelek perkara, baik sedikit maupun banyak, hanya saja mengkonsumsi secara banyak hukumnya haram berdasarkan kesepakatan umat Islam.”
Sejalan dengan itu Al-Imam Al-Qarafi juga berpendapat:
النبات المعروف بالحشيشة التي يتعاطها أهل الفسوق اتفق أهل العصر على المنع منها أعنى كثيرها المغيب للعقل
“Tumbuh-tumbuhan yang terkenal dengan anam ganja yang dikonsumsi oleh orang-orang fasiq, telah disepakati keharamanya oleh para ulama’, yaitu penggunaan dengan kadar banyak sehingga menghilangkan (berpengaruh) pada akal.
Ulama yang lain memberikan ulasan agak luas. Artinya tidak terbatas pada ganja saja. Mereka sudah memasukkan opium , marihuana dan sebagainya. Sebagaimana Syekh Muhammad A’lauddin Al –Hashkafi al-Hanafi, beliau mengatakan :
... ويحرم أكل البنج والحشيشة والأفيوم لأنه مفسد للعقل ويصد عن ذكر الله وعن الصلاة
“ …dan haram mengonsumsi ganja, marihuana dan epium , karena merusak akal dan menghalangi ingatan (dzikir) pada Allah dan shalat.”
Dari ulasan di atas bisa disimpulkan bahwa narkoba menurut Islam adalah:”Segala sesuatu yang memabukkan atau menghilangkan kesadaran, tetapi bukan minuman keras, baik berupa tanaman maupun yang selainya. Selanjutnya istilah narkoba dalam terminology Islam disebut mukhoddirot”.
Hukum keharaman narkoba ditetapkan melalui jalan qiyas yang terdiri dari: qiyas aulawi, qiyas musawi dan qiyas adwan. Adapun sangsi hukumnya, bagi pengguna narkoba sepenuhnya menjadi wewenang hakim. Selain itu, Islam memandang narkoba merupakan barang yang sejak awal sudah diharamkan. Oleh karenanya pada kebutuhan medis, penggunaan narkoba dianggap tingkat darurat atau toleransi.

6. Kesimpulan
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari tulisan ini, dirumuskan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal mendefinisikan miras (khamer), sebagai berikut:
a. Imam Abu Hanifah
Menurut al Imam Abu Hanifah, khamer (miras) adalah : “Minuman keras yang memabukkan yang berasal dari perasaan anggur saja”. Sedangkan yang terbuat dari selain anggur, dinamakan nabidz. Oleh karena itu bagi peminumnya (nabidz) tidak dikenakan hukuman had.
b. Jumhur ulama’ (Syafi’i, Maliki, dan Ahmad)
Menurut mereka Khamer adalah:”Nama (sebutan) dari setiap minuman yang memabukkan “. Oleh karenanya dari apapun minuman itu dibuat, asalkan memabukkan, maka minuman tersebut layak dinamakan khamer. Bagi peminumnya dikenakan hukuman had.
c. Untuk memperoleh definisi yang kongkrit, dan sesuai dengan pendapat ulama Syafi’iyah sebagai panutan mayoritas masyarakat hukum di Indonesia, diadakan penggabungan kedua definisi di atas. Sehingga khamer didefinisikan sebagai:” Zat cair atau zat padat yang berasal dari zat cair yang disajikan untuk minuman, yang apabila diminum akan memabukkan”.
2. Dari definisi di atas (definisi miras), menunjukkan bahwa menurut pandangan Hukum Islam, narkoba bukanlah miras (khamer). Hanya saja pada narkoba terdapat illat yang sama dengan khamer. Illat tersebut adalah sifat iskar (memabukkan). Oleh karena itu bagi pelaku penyalahgunaan narkoba tidak dikenakan hukuman had, melainkan dikenakan hukuman dengan jalan qiyas terhadap miras. Yaitu:
a. Apabila penyidikannya menunjukkan illat yang lebih rendah (ringan) dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas adwan. Dalam arti derajat hukuman pidananya harus di bawah hukuman had.
b. Apabila penyidikanya menunjukkan illat yang sama dengan khamer, maka yang dipakai adalah qiyas musawi. Dalam arti derajat hukumanya dipersamakan dengan hukuman had. Akan tetapi apabila penyidikanya menunjukkan lebih berat dari pada khamer, maka yang dipakai adalah qiyas aulawi. Artinya , derajat hukumanya lebih berat dari hukuman had. Sedangkan muatan berat-ringanya (berat) hukuman sepenuhnya menjadi wewenang hakim.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mazid, Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar bin, (t.th.), Ahkam al Jirohah al Thibbiyah wa al Atsar al Mutarottabah alaiha, (Madinah: Al Jamiah al Islamiyah bin al Madinah al Nabawiyah).
Al Alusi, (1994), Ruhu al Maa’ni, juz 2, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah).
Al Bajuri, Ibrohim, (t.th.), Hasyiyah al Bajuri, (Indonesia: Dahlan).
Al Dahlawi, Ahmad bin Abdul Rahim, (1987), Al Fauzul Kabir Fi Ushuli al Tafsir, (Bairut: Dar al Basya’ir al Islamiyah).
Al Ghifari, Abu, (2002), Generasi Narkoba, (Bandung: Al Mujahid).
Al Ghomrowi, Muhammad al Zuhri, (1923), Al Sirojol Wahhaj, (t.t: Musthofa al Babi al Halbi).
Al Jashshas, (1994), Ahkamu al-Qur’an, juz 1, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah).
Al Qarafi, (t.th.), Al Furuq, jilid 1, (Beirut: Darul Fikri).
Al Sadlan, Sholeh bin Ghonim, (2000), Bahaya Narkoba Mengancam Umat, (Jakarta: Darul Haq).
Al Syatibi, Abi Ishaq, (t.th.), Al Muwafaqot, jilid 4, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah).
Aris, Widodo Moch, (1996), Makalah Penyalahgunaan Obat Psikotropika (obat terlarang),Dampaknya pada kesehatan, (t.tp)
Atmasasmita, Romli, (2003), Pemberantasan Terorisme dari Aspek Hukum Pidana Internasiona, (Malang: Makalah Seminar Nasional dan Temu Alumni Mahasiswa Fakultas Hukum Unisma Malang).
Bukhari, (1999), Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu Katir al Yamamah).
Departemen Agama RI, (2001), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve).
Departemen Agama RI, (1978), Al Qur’an dan Terjemahanya, (Jakarta: Bumi Restu).
Ismail, Anas Abu Daud, (1996), Dalilussailin, (t.tp: Al Mamlakatul Arabiyah).
Mansur, Ali Nasif, (1975), Al Taj, (Beirut: Daru al Fiar).
Muhammad, Ali Al Shabuni, (t.th.), Rowai al Bayan,juz 1, (t.tp: Daru al Fikr).
Muslim, (1999), Sohih Muslim,jilid 3, (Beirut: Daru Al Ihya’al Turats).
Sanusi, Ahmad Mushofa, (2002), Problem Narkotika Psikotropika dan HIV-AIDS, (Jakarta: Zikrul Hakim).
Sartono, (1999), Racun dan keracunan, (Jakarta: Widya Medika).
Sudiro, Amsruhi, (2000), Islam melawan Narkoba, (Jogjakarta: Madani Pustaka).
Syarifudin, Amir, (1997), Ushul Fiqh,jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu).
Taimiyah, Ibnu, (t.th.), Majmu’al Fatawa, jilid 34, (Beirut: Daru Al Ihya’al Turats).
Thohon, Ahmad bin Muhammad, (t.th.), Al Mukhoddirut Syarrun Mustatir.
Yahya, Mukhtar dkk, (1983), Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: Al Ma’arif).
Jawa Pos, 18 April 2003.
Kompas, 29 Januari 2003.
Tempo, 27 Mei 2001.
Majalah Interview, 20 Januari 2001.
Undang-undang Nomor 5, Tahun1997 tentang Psikotropika.
Undang-undag Nomor 22, Tahun1997 tentang Narkoba.

Selanjutnya..
 
SUWANDI © 2007 Template feito por Templates para Você