Selamat Datang

Rabu, 10 Maret 2010

Pembangunan Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia Dalam Perspektif Eklektisisme Hukum[1]

Pembangunan Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia

Dalam Perspektif Eklektisisme Hukum[1]

Sejarah panjang pembahasan tentang hukum, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa hukum memang sulit untuk didefinisikan secara seragam. Definisi yang dikemukakan selalu menunjukkan perbedaan antara satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan berbedanya pemikiran yang melatarbelakangi pakarnya masing-masing. Berkaitan dengan hal ini Roscue Pound mengemukakan beberapa konsep mengenai apa hukum itu, yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Yaitu: Pertama, ide atau konsep mengenai aturan atau seperangkat aturan yang datang dari Tuhan (bersifat ketuhanan) untuk prilaku manusia. Kedua, ide atau konsep mengenai hukum sebagai tradisi adat yang tua yang telah membuktikan akan diterima oleh tuhan-tuhan, sehingga orang yang mengikutinya akan melewati jalan dengan selamat. Di sini hukum adalah "bentuk kebiasaan atau bentuk yang terekam dari ajaran-ajaran di mana adat dipertahankan dan diekspresikan. Ketiga, hukum diartikan sebagai kebijaksanaan yang terekam dari orang-orang bijak yang telah mempelajari jalan yang aman atau jalan yang disetujui Tuhan untuk tingkah laku manusia. Keempat, hukum dipahami sebagai sistem dasar yang ditemukan secara filosofis yang dapat mengekspresikan esensi pokok sesuatu, di mana setiap orang harus bertindak sesuai dengannya. Kelima, hukum dipahami sebagai kumpulan deklarasi mengenai aturan moral yang kekal dan tidak berubah. Keenam, hukum dipahami sebagai kumpulan persetujuan atau keputusan orang-orang atau organisasi / partai politik di masyarakat. Ketujuh, Hukum dipahami sebagai refleksi ketentuan yang bersifat ketuhanan untuk mengatur dunia. Kedelapan, hukum dipahami sebagai kumpulan perintah dari penguasa yang mempunyai kedaulatan dan otoritas politik agar bagaimana orang-orang bertindak[2]

Dari uraian di atas, secara singkat subtansi hukum yang telah dibahas oleh para pakar dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu, hukum yang mempunyai nilai-nilai ketuhanan dan hukum yang tidak mempunyai nilai-nilai ketuhanan. Pembedaan subtansi hukum seperti ini dapat mengakibatkan adanya dikhotomi atau pemisahan tajam, di mana satu dengan lainnya saling mengklaim bahwa dialah yang paling benar, dan lainnya salah. Pada tingkatan tertentu klaim-klaim tersebut menyatakan bahwa hukum agama mengatur urusan ukhrawi, sedangkan hukum umum yang tidak mempunyai nilai-nilai ketuhanan hanya mengatur urusan duniawi. Hukum agama (Islam) mengantarkan orang kepada kebahagiaan hidup di dunia hingga akherat, sedangkan hukum umum tidak lain berupa hukumnya orang-orang kafir (tidak percaya adanya Tuhan) yang hanya mementingkan kehidupan dunia saja. Padahal, disadari atau tidak dalam tata kehidupan umat manusia di manapun dan kapanpun, selalu terjadi jalin kelindan aturan-aturan yang secara sistemik membentuk sebuah aturan baru untuk menciptakan ketertiban yang telah menjadi kesepakatan.

Pemisahan antara hukum yang mempunyai nilai ketuhanan dan hukum yang tidak mempunyai nilai ketuhanan seperti itu semestinya harus diletakkan dalam kerangka hukum positif dalam sistem hukum sekuler, yakni ada pemisahan yang ketat antara Negara (state) dan agama (religion). Sedangkan dalam sistem hukum di negara yang tidak ada pemisahan yang ketat antara agama dan negara semestinya tidaklah demikian.[3] Berdasrkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berarti Indonesia dapat dinyatakan sebagai negara yang menganut asas ketuhanan. Paling tidak, negara memberikan kesempatan hidup dan berkembangnya agama-agama yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dengan demikian Pancasila merupakan bingkai yang memberikan batas-batas sekaligus keleluasaan bagaimana masyarakat merefleksikan ideologinya dan keyakinannya masing-masing. Sila pertama dara Pancasila, jelas menunjukkan kearah yang demikian. Artinya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis. Mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan tidak mendapatkan tempat di dalamnya.

Perlu disadari betapapun sebuah negara merupakan negara sekular, akan tetapi jika masyarakatnya pernah atau sedang beragama, maka nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakatnya itu tidak mustahil berasal dari ajaran agama yang pernah/sedang dianutnya.[4] Nilai-nilai tersebut setapak demi setapak bergerak membentuk budaya masyarakatnya. Di kala itulah prilaku sebuah masyarakat terwarnai. Itulah sebabnya pemisahan hukum umum dan hukum agama dalam konteks negara dianggap tidak relevan. Terlebih negara yang menjamin kebebasan penduduknya memeluk dan menjalankan agamanya tanpa ada intervensi dari negara sedikitpun. Apalagi hukum umum yang dimaksudkan adalah hukum yang terkodifikasi yang secara materiil dapat berisi hukum agama (Islam) baik sebagian ataupun keseluruhannya, atau bahkan mungkin semangat dan moralitasnya.

Pembahasan hukum dalam konteks Pancasila di Indonesia, seyogyanya dilakukan dengan menampilkan jalin-kelindan atau kerjasama antara hukum umum dan hukum Islam sebagai latarbelakang yang mewarnai budaya bangsanya. Hukum Islam saja dimungkinkan tidak mengatasi persoalan atau paling tidak akan mengalami kesulitan tanpa adanya legitimasi negara. Begitu juga sebaliknya, pada hukum umum. Perbankan syari'ah yang berasal dari hukum Islam tidak dapat begitu saja dilepaskan dari indukknya untuk kemudian diakui sebagai hukum umum (hukum positif Indonesia). Satu-satunya jalan adalah mengadakan penggabungan kedua sistem hukum yang bersangkutan, setelah melalui proses kompetisi keduanya, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal berarti masing-masing dari kedua sistem hukum tersebut berbenah diri melalui rasionalisasi-rasionalisasi kedalam, baik secara metodologis maupun material.[5] Secara eksternal, setelah melalui seleksi internal dari kedua sistem hukum tersebut, kemudian digabungkan untuk menjadi satu kesatuan hukum yang mampu memberikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Nilai-nilai tersebut haruslah mendapatkan pengakuan oleh hukum Islam sekaligus juga oleh hukum umum untuk selanjutnya disahkan sebagai hukum nasional.



[1] Eklektisisme adalah sebuah pemikiran tentang hukum yang di gagas oleh A. Qadri Azizy dalam rangka pembaharuan hukum Indonesia. Pembaharuan tersebut dilakukan melalui pendekatan eklektisisme fikih muamalah dan hukum umum yang akan menghasilkan hukum nasional. Pendekatan eklektik bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber/bahan baku hukum yang ada. Proses pembentukan hukum nasional dilakukan dan dipertanggungjawabkan secara akademik terhadap sumber/bahan hukum yang mungkin ada beberapa pengaturan yang telah menyatu atau eklektik, terlepas apakah saling mempengaruhi (mengisi atau mengambil) atau memang kebetulan. Baca A. Qadri Azizy, Op. Cit. hal. 12-13.

[2] Dielaborasi dari A. Qadri Azizy, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kometisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gema Media, hal. 74-76.

[3] Ibid, hal. 81.

[4] . Ibid. hal. 82.

[5] Secara metodologis hukum dapat menggunakan pendekatan induktif maupun deduktif sesuai dengan karakter hukum yang bersangkutan. Sedangkan secara material, masing-masing dari kedua sistem hukum dapat memilih dan memilah mana isi atau subtansi hukum yang dianggap terbaik dan sesuai untuk disandingkan antara keduanya.



Selanjutnya..

Teory Sistem (Theory Legal System) Sebagai Instrumen Pembangunan Hukum Indonesia

Teory Sistem (Theory Legal System)

Sebagai Instrumen Pembangunan Hukum Indonesia

Gemilangnya fillsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan modern pada pertengahan abad 20, sungguh sangat memberikan arti penting terhadap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang berlatarbelakang eksak (kealaman). Formulasi sains modern dibangun di atas logika murni oleh Rene Descartes, di mana pengertian ilmu dibatasi pada cabang-cabang ilmu alam semata. Sedangkan epistemologi ilmu pengetahuan dibatasi pada pengertian metode-metode eksperimental. Akibatnya, penegasan ontologi ilmu pengetahuan harus menggunakan ukuran-ukuran ilmu alam dan penegasan epistemologi menggunakan batasan-batasan metode eksperimental[1]. Dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan sains modern yang dibangun oleh Descartes ini di lain pihak melahirkan terjadinya kekaburan terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tidak berlatarbelakang kealaman (tidak berobyek benda alam) seperti ilmu sosial, ilmu hukum, ilmu kebudayaan dan ilmu-ilmu yang berobyek manusia (human sciences) lainnya. Ilmu-ilmu yang tidak berlatarbelakang eksak (kealaman) tersebut, terputus dari perspektif global dan perspektif aksiologinya. Keresahan intelektual akibat kaburnya ilmu pengetahan non eksak ini pada akhirnya dapat teratasi dengan lahirnya teori sistem. Kelahiran teori sistem, dengan demikian merupakan upaya pengembalian ilmu pengetahuan kepada karakteristik esensialnya (post modernism/sains pasca Cartesian).

A. Prinsip-prinsip dasar Teori Sisitem

Beragamnya norma yang ada di tengah-tengah masyarakat, di mana masing-masing menghendaki eksistensinya, merupakan fenomena yang tidak mungkin dipisah-pisahkan begitu saja untuk dipilih sebagai acuan menetapkan dan membangun sebuah keteraturan dan ketertiban. Secara alamaiah (sunnatullah) hidup bermasyarakat telah diwarnai dan diatur oleh berbagai norma yang berlaku di dalamnya. Norma-norma tersebut secara otomatis dan sistemik menyatu dan selanjutnya bergerak mengarahkan prilaku manusia membentuk keteraturan dan ketertiban. Usaha memisahkan norma-norma tersebut dari arena kehidupan masyarakat pada hakekatnya merupakan usaha yang sia-sia, bahkan dapat dikatakan menciptakan porak-porandanya sebuah keteraturan yang telah mapan. Akan tetapi membiarkan begitu saja norma-norma tersebut berjalan secara alamiah, berarti tidak mendukung upaya mewujudkan kemajuan dan perkembangan. Hukum sebagai salah satu instrument pembangunan masyarakat senantiasa menghendaki atau menuntut adanya perkembangan, seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Salah satu cara dari sekian banyak cara pengembangan yang dimaksudkan adalah menganggap bahwa hukum merupakan sebuah sistem, di mana komponen yang satu tidak dapat dipisahkan dengan komponen lainnya.

Secara filosofis, teori sistem hukum mendapatkan akarnya pada teori organis yang mendapat pematangan melalui proses perkembangannya menjelang pertengahan abad 20 yang pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap berbagai kekurangan teori analitis mekanis, terutama dalam perspektif "human sciences".[2] Pendekatan sistem kemudian dianggap sebagai teori yang dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan pemecahan masalah hukum, ketika teori-teori tradisional tidak lagi mumpuni. Teori sistem hukum ini dicirikan sebagai berikut:

Pertama, mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis[3]. Ciri ini berhubungan dengan pusat perhatian teori sistem, yaitu apa yang disebut "sistem" atau "keseluruhan" (wholes). Suatu teori yang fungsinya tidak dapat dipenuhi oleh metode analitis, terutama dalam hal mempelajari sesuatu yang bagian-bagian tidak dapat dipisahkan, dan jika dipaksakan pemisahannya akan mengakibatkan lenyapnya makna masing-masing bagian yang dipisahkan. Contoh dari pernyataan ini adalah hukum perbankan syari'ah di Indonesia. Ketika hukum perbankan syari'ah dipisahkan dari kontek hukum Indonesia, berarti hukum perbankan syari'ah secara otoritatif merupakan hukum Islam. Ketika merupakan otoritas hukum Islam berarti hukum perbankan syari'ah hanya merupakan norma agama. Oleh karenanya tidak memiliki kekuatan memaksa, akan tetapi bersifat mana-suka (voluntary). Padahal yang dimaksudkan adalah hukum perbankan syari'ah dalam konteks hukum perbankan nasional yang memiliki kekuatan memaksa oleh Negara. Sebaliknya ketika hukum perbankan syari'ah dipisahkan dari induknya (hukum Islam), maka perbankan syari'ah pada saat itu hanya merupakan sebuah nama, di mana prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya sudah tidak berarti lagi. Karena analisis pada setiap bagian dapat menghilangkan maknanya sama sekali. Untuk itu dinyatakan:

That by their very natural all parts of such system are inextricably related to each other, and by separating the parts of a system in order to study them isolation, we are actually destroying the parts and creating artfacts[4].

Kedua, mampu melukiskan kehususan hal yang disebut sistem itu. Ciri ini berhubungan dengan tujuan aplikasi teori sistem yang diarahkan untuk dapat diterapkan terhadap keseluruhan bentuk sistem tanpa memperhatikan ciri khusus dari elemen apapun sistem itu dibentuk. Inti sistem, dengan demikian adalah hubungan ketergantungan antarsetiap bagian yang membentuk sistem (interrelationship between parts)[5]. Ketiga, mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam suatu sistem[6]. Ciri ini berhubungan dengan klasifikasi dalam sistem untuk menjelaskan setiap bagian dari sistem tersebut. Ciri ini juga berfungsi memberikan penegasan terhadap sifat umum sistem yang mungkin diterapkan terhadap berbagai kesatuan. Keempat, merupakan teori saintifik[7]. Ciri ini menegaskan sifat saintifik dari teori sistem, di mana ciri penting dari suatu teori sins adalah kemampuannya untuk memprediksi kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang[8]. Oleh karena itu suatu teori dianggap bukan sintifik apabila ia tidak memiliki predictive value. Dalam perspektif ini teori sistem sering dinilai sebagai teori yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat ini, karena teori sistem senantiasa menggambarkan kejadian-kejadian yang telah mendahuluinya, seperti yang telah dinyatakan oleh Bertalanfy sebagai berikut: The desicive question is that of the explanatory and predictive value of the new theories, attacking the host problems around wholeness, teleologi, etc....There is no question that new horizons have been oppened up, but the relations to empirical facts often remain tenuous[9]

Berdasarkan pemaparan di atas, Lili Rasjidi menyusun beberapa ciri dari suatu kesatuan:

Pertama,

sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).

Kedua,

masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan nubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts);

Ketiga,

kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar , yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts);

Keempat,

Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya. (the whole determines the nature of its parts);

Kelima,

Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole);

Keenam,

Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

B. Pengertian dan Komponen Sistem Hukum

Berdasarkan fakta sejarah, tak satu generasipun di dunia ini hidup hampa tanpa aturan. Masyarakat di manapun berada, kapanpun waktunya pastilah hidup dalam skema aturan yang telah disepakati sendiri. Persoalannya, dari mana dan kapan mulainya (cikal bakal) peraturan yang disepakati tersebut ada. Persaoalan ini memang sangat sulit sekali jawabannya. Mengatakan bahwa hukum tidak berafiliasi dengan aturan sebelumnya merupakan suatu keputusan yang tergesa-gesa. Akan tetapi mengatakan bahwa hukum lahir sejak mulai adanya masyarakat dalam suatu kurun waktu dan tempat tertentu merupakan hal yang mustahil. Setidaknya hukum itu muncul karena kebutuhan akan keteraturan saat itu. Sudah barang tentu rasa hukum yang melekat pada setiap anggota masyarakat sebagai warisan yang didapatkan dari generasi sebelumnya merupakan modal dasar terciptanya peraturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Rasa hukum tersebut secara sinergis membentuk sebuah keutuhan yang secara sistemik berkembang secara progresip sesuai dengan perkembangan masyarakat yang dipicu oleh semakin berkembangnya kebutuhan dalam kehidupan. Benar sekali ungkapan bijak para pakar hukum yang menyatakan "di mana ada masyarakat di situlah ada hukum". Hanya saja hukum dalam kontek demikian masih bersifat aturan yang diharapkan mampu menata kehidupan lokal atau komunitas terbatas pada saat itu.

Kehidupan semakin berkembang, hingga pada saatnya hukum (aturan lokal) dibawah kepada skema yang lebih besar, yakni negara. Berpijak pada kontek negara hukum tidak hanya dapat dimaknai sebagai aturan belaka. Hukum memiliki makna yang lebih luas dan universal. Bagi kebanyak pakar positivis, hukum merupakan cerminan sejarah pembentukan sebuah bangsa. Maju dan berkembangnya sebuah negara, dapat dilihat dari sistem hukum yang diterapkannya. Karena dari sistem hukum itulah suasan intelektual, ekonomi, politik, bahkan peradaban bangsa dapat dilihat atau diketahui. Suatu hal pentig yang perlu diketahui, bahwasanya hukum itu erat sekali hubungannya dengan gagasan dan tujuan di mana dan ke mana masyarakat tersebut akan di arahkan.

UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun cetak biru ide negara hukum itu hingga saat ini belum dirumuskan secara konprehensip. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hukum di Indonesia selalu mengalami perubahan (pembangunan). Akan tetapi perubahan atau pembangunan hukum tersebut masih bersifat sektoral. Oleh karenanya hukum dalam hal ini harus dipahami secara menyeluruh dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Hukum sebagai suatu kesatuan sistem setidaknya memuat hal-hal berikut: (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen prilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural)[10].

a. Eemen Kelembagaan (elemen institusional)

Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk dan wadahnya, sedangkan fungsi adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman Vorm), sedangkan fungsi gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya[11]. Perbankan syari'ah sekalipun secara akademik sudah dikenal sangat lama, akan tetapi kehadirannya di Indonesia dalam bentuk kelembagaan relatif sangat baru. Yaitu bersamaan dengan terjadinya krisis moneter di Indonesia tahun 1997 dan baru lahir undang-undangnya pada tahun 2008. Yaitu UU RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Oleh karena itu perlu diupayakan tindakan-tindakan inovatif dalam segi kelembagaannya sebagai bentuk pembangunan kearah maksimal.

b. Elemen Subtansi (elemen instrumental).

Perbedaan esensial antara perbankan syari'ah dengan perbankan konvensional sesungguhnya terletak pada faktor epistemologimya. Kalau perbankan konvensional merupakan sub sistem dari ekonomi konvensional, maka perbankan syari'ah merupakan cabang atau sub sistem dari ekonomi Islam. Sebagai sub sistem dari ekonomi Islam, perbankan syariah tidak dapat dipisahkan dari hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itu al-Qur'an dan al-Hadits merupakan sumber hukum yang utama yang kemudian dikembangkan melalui metode ushul fikih dan dikenal sebagai hukum produk pemikiran (fikih/Islamic yurisprudent). Itulah sebabnya secara global hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, hukum Islam sebagai produk murni ilahiyah yang disebut dengan syari'ah. Hukum dalam pengertian ini tidak dapat diamandemen. Hukum Islam merupakan hukum yang terkodifikasi.[12] Di manapun dan kapanpun ia harus dilaksanakan sesuai dengan aturan normatifnya. Oleh karena itu ia bersifat absolut. Akal pikiran sedikitpun tidak memiliki peluang untuk campur tangan. Kedua, hukum Islam sebagai produk mujtahid (pakar hukum Islam). Di sinilah hukum Islam dapat berubah sesuai dengan vareabel pengubahnya. Hukum Islam dalam pengertian ini dipengaruhi oleh waktu dan tempat di mana ia dilaksanakan, {(taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah) Hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat}.

Di sisi lain hukum perbankan syari'ah mau atau tidak ia harus masuk ke dalam skema hukum nasional yang nota benenya hukum positif Indonesia dengan sistem Civil Law. Hukum merupakan hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu ia selalu dapat diamanden kapan saja dibutuhkan. Hukum harus tertulis bahkan harus dibedakan dengan tatanan moral. Sedangkan hukum Islam sebagai hukum agama bersifat voluntary (mana suka) bahkan lebih mengedepankan tatanan moral (rule of morality). Berangkat dari pernyataan bahwa hukum adalah suatu kulturbegrif, pengertian budaya[13], maka hukum perbankan syari'ah harus merupakan suatu keutuhan sistem dari sekian banyak norma hukum yang terlibat di dalamnya. Karena hukum (perbankan syari'ah) tidak dapat dilepaskan dari sumber ilahiyyah (al-Qur'an dan al-hadits) serta pengertian hukum dengan sendirinya ditentukan oleh cita-cita dan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan[14].

c. Elemen Budaya Hukum.

Meskipun hubungan antara hukum dan masyarakat sudah sangat jelas, tapi dalam menganalisis fenomena ini banyak sarjana yang tampaknya lebih terobsesi dengan gagasan instrumentalis mengenai hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social enginering)[15]. Hukum dikonsepkan sebagai alat kontrol masyarakat sekaligus menciptakan aturan sosial yang sangat canggih serta memberi tekanan terhadap setiap individu agar mengerjakan tugasnya dalam mempertahankan masyarakat yang beradab dan menghalanginya agar tidak melakukan tindakan anti sosial yang bertentangan dengan postulat tatanan sosial.[16] Prinsip ini telah banyak dilakukan oleh banyak negara dalam upaya menciptakan hukum nasional demi untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan di segala bidang. Penekanan yang besar terhadap hukum sebagai instrumen rekayasa sosial ini kemudian digantikan dengan perspektif lain yang melihat hubungan antara hukum dan masyarakat sebagai sebuah rangkaian kesatuan yang memiliki interaksi setara. Dalam dimensi baru ini hukum tidak lagi dianggap sebagai vareabel independen yang terlepas dari elemen lain, tapi sama-sama sebagai vareabel dependen sebagaimana norma-norma sosial dan identitas budaya lainnya.[17] Hukum dalam kontek ini tidak hanya sebagai faktor pembentuk dan kontrol masyarakat, melainkan juga sebagai faktor yang dibentuk, paling tidak hukum juga sebagai faktor yang dipengaruhi. Itulah sebabnya bahwa hukum tidaklah dapat dipisahkan dari realitas sosial yang melingkupinya pada saat itu. Karena melepaskan hukum dari kontek sosialnya berarti mengembalikan hukum kepada pengertiannya sebagai alat rekayasa sosial belaka tanpa ada kontribusi apapun dari realitas sosial yang melingkupinya. Lagi pula menjadikan hukum semata sebagai gagasan instrumental belaka justru akan menyebabkan kehidupan ini menjadi stagnan (tidak berkembang) karena hukum bersifat statis, sementara realitas sosial selalu bergerak menuju pada kemodernan (kesempurnaan) seiring dengan semakin modernnya negara bangsa.

Setelah diyakini bahwa dalam kenyataannya hukum memiliki hubungan setara dengan masyarakat, maka kajian-kajian tentang hukum tidak boleh hanya mencurahkan perhatiannya tentang hukum, melainkan juga bagaimana masyarakat mengalaminya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dalam kenyataannya norma-norma sosial dan norma hukum secara sistemik bekerja saling pengaruh mempengaruhi dan saling menyempurnakan antara satu dengan yang lain. Maka dengan pertolongan otoritas negara, pada akhirnya akan dibentuk dan dijadikan hukum nasional. Pergulatan berbagai sistem norma dalam membentuk sistem hukum nasional semacam ini sesungguhnya dialami oleh banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, berarti memiliki kesempatan banyak mengadopsi hukum agama sebagai hukum nasional. Meski hukum agama diyakini sebagai institusi yang tidak bisa diubah (diamandemen), tetapi dalam perpektif fikih (Islamic Yurisprudent)[18] sangat memungkinkan hukum itu diubah sesuai dengan kebutuhan yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Pada akhirnya perbankan syari'ah bukan hanya disajikan untuk umat Islam secara khusus, akan tetapi juga diperuntukkan seluruh umat manusia pada umumnya sebagaimana semboyan Islam sebagai agama yang rohmatan lil 'alamin.

C. Arah Sistem Hukum Indonesia.

Sistem hukum Indonesia sebagai sistem aturan yang berlaku di Indonesia memiliki karakter yang berbeda dari negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan karena Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan suku bangsa, yang juga memiliki norma-norma hukum yang diakui keberlakuannya, yaitu hukum adat. Begitu pula sejarah panjang yang dialami oleh bangsa Indonesia sebelum merdeka, yaitu sebagai negara jajahan dari berbagai negara seperti Belanda, Jepang, Inggris serta Portugis. Penjajah yang awalnya berpretensi penjajahan di bidang perekonomian, selalu ingin memperluas pada bidang-bidang lainnya. Layaknya rakyat jajahan, selalu harus menurut kepada pemerintah kolonial. Di situlah kesempatan bagi pemerintah kolonial untuk mencetuskan aturan-aturan yang dianggap menguntungkan pemerintahannya (Belanda). Akhirnya kehidupan panjang bersama pemerintah kolonial ternyata tidak hanya berpengaruh pada sektor perekonomian saja, akan tetapi secara implementatif hukum kolonial pun menjadi aturan hukum yang berlaku di negara jajahannya (Indonesia). Sebelum penjajah bercokol, kehidupan masyarakat, selain diatur oleh hukum adat, juga banyak daerah-daerah yang masyarakatnya kental sekali dengan kehidupan agama (Islam).

Fenomena berlakunya berbagai norma hukum ini menambah perbendaharaan hukum yang berlaku di Indonesia yang dianggap eksis oleh masing-maisng komunitasnya. Ketiga norma hukum (hukum adat, hukum kolonial, dan hukum Islam) tersebut masing-masing diharapkan tetap eksis bagi dan oleh komunitasnya bahkan sedapat mungkin menjadi hukum nasional melalui mekanisme legislasi atau positifisasi. Hukum nasional dalam pengertian ini, adalah hukum nasional yang unsur-unsurnya terdiri dari hukum adat, hukum kolonial (Belanda-Eropa) dan hukum Islam. Persoalannya apakah dengan menggabungkan ketiga sistem hukum tersebut hukum nasional secara otomatis sudah memenuhi rasa hukum masyarakat Indonesia? Atau dengan kata lain apakah hukum dalam konteks demikian sudah memenuhi cita hukum nasioanal yang didambakan. Berdasarkan Teori Kedaulatan Negara menurut Krabbe dalam bukunya: Die Lehre der Rechssouveranital" (1906) sebagaimana dikutip oleh Lili Rasyidi[19], bahwa hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakrat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Berpijak dari pemahaman seperti ini, maka kodivikasi dan yunivikasi hukum merupakan jalan yang paling efektif dan tepat untuk tata hukum Indonesia.

Arah kebijakan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pereode 1999-2004, tentang:

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk menciptakan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tatanan reformasi melalui program legislasi;

Jelas menunjukkan harapan terealisasinya hukum Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial. Bangunan tata hukum nasional sebagaimana dikehendaki oleh GBHN 1999-2004 tersebut merupakan Tata Hukum Nasional Indonesia yang tersusun secara hirarkhis dan berintikan Cita Hukum Pancasila, dan yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan melalui asas-asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui perundang-undangan dan yurisprudensi. Cita Hukum Pancasila dan Asas-asas Hukum Nasioanl, dalam dinamika pembentukan hukum, berperan sebagai "guiding principles"[20]

Kontekstualisasi hukum (positif) Indonesia, dengan demikian dapat ditelusuri melalui Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penjelasan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Artinya segala aturan norma yang terdapat di tengah-tengah masyarakat dan eksis sebagai tuntunan hidup haruslah mendapatkan legalitas dari negara sebagai hukum nasional melalui proses legislasi. Berdasrkan hukum yang terpositifisasi itulah negara berkewajiban mewujudkan tujan negara sebagaimana yang telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1994 Alinea keempat sebagai berikut:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan Negara yang telah dirumuskan tersebut dapat terwujud dengan cara membentuk organisasi kekuasaan negara yang memuat fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam UUD 1945[21]. Implementasi hukum, dalam koredor Pancasila dan UUD 1945, dengan demikian menunjukkan adanya jati diri negara Indonesia[22] yang sekaligus menunjukkan kekhasan hukum Indonesia itu sendiri. Artinya sekalipun bahan hukumnya berasal dari berbagai unsur sistem hukum, namun setelah mengalami perumusan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dapat dijastifikasi bahwa hukum tersebut adalah hukum Indonesia yang memiliki cirri dan karakter Indonesia sendiri, sekalipun secara parsial dimungkinkan adanya persamaan subtansinya dengan sistem hukum lain. Persamaan di sini tidak identik dengan sistem yang telah dinaungi atau didasari oleh landasan filosofis dan ideologis bangsa Indonesia.

Ringkasnya sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum Pancasila yang memiliki karakteristik tersendiri dengan mempertimbankan adanya norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum kolonial. Untuk lebih jelasnya lihat bagan berikut!



[1] Lihat Lili Rosjidi, I.B. Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar Maju, hal. 1

[2] Lihat Lili Rasjidi, ibid. hal. 59.

[3] Lili Rasjidi, ibid, hal. 60.

[4] .DC Philips, Holistic 1988, Thought in Social Science, Stanford University Press, California, hal. 49.

[5] Lili Rasjidi, op. cit. hal. 60.

[6] loc. Cit.

[7] ,loc. Cit.

[8] ibid, hal. 64.

[9] Philip, opcit, hal 67.

[10] Jimly Asshiddiqie, Pembangunan dan Penegakan Hukum di Indonesia, makalah pada seminar "Menyoal Moral Penegak Hukum" dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 17 Februari 2006.

[11] Jimly Asshiddiqie, 2005, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, hal. 49-50.

[12] Ade Maman Suherman, 2006, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, ,hal. 260.

[13] M. Koesnoe, 1998, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Surabaya:Ubhara Press, hal. 38.

[14] Loc. Cit.

[15] Ratno Lukito, Sacred and Secular Laws, A Study of Conflict and Resolution in Indonesia (Terjemah oleh: Inyiak Ridwan Muzir, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuer, Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesi, Jakarta, Pustaka Alvabet, hal. 1.

[16] Baca Roscoe Pound, The Task of Law, 1944, Lancaster, Franklin and Marshal College, hal. 12. Secara umum juga lihat Pound, 1951, Justice According to Law, New Haven, Yale University Press, hal. 32-61.

[17] Ratno Lukito, Op. Cit. hal. 2.

[18] Islamic Yurisprudent, merupakan hukum Islam yang dihasilkan dari ijtihad para pakar hukum yang berkopenten dalam bidangnya berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber utama hukum Islam dengan menggunakan metode tertentu. Baik melalui jalan istimbath maupun istidlal.

[19] . Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 84.

[20] Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia), Bandung, Mandar Maju, hal. 81.

[21] .Muchsin, 2004, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka & Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH :IBLAM", hal. 22.

[22] .Jati diri negara Indonesia dapat diidentifikasi dalam 6 (enam) point pokok identitas negara Indonesia yang dinamakan sebagai identitas umum, yang dibedakan dalam: 1). Indonesia sebagai Negara Republik, ketentuan ini ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan perubahan yang menyatakan bahwa Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. 2). Indonesia sebagai Negara Demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan perubahannya menyatakan bahwa kedaulatam berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 3). Indonesia sebagai negara kesatuan. Indonesia adalah sebagai Negara kesatuan berbentuk Republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat(1) UUD 1945 dan perubahannya yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia. 4). Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pernyataan Indonesia sebagai negara kesejahteraan tercermin dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk kesejahteraan umum. Dalam berbagai produk yang dihasilkan negara baik itu produk pembangunan maupun produk hukumnya juga harus ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat menuju masyarakat yang adil dan makmur. 5). Indonesia sebagai Negara hukum. Hal ini ditunjukkn oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 6). Indonesia sebagai Negara Pancasila. Indonesia sebagai negara Pancasila dapat dilihat dari konstitusi yang pernah berlaku yang senantiasa mencantumkan Pancasila sebagai landasan. Perkembangan politikpun seantiasa menunjukkan eksistensi Pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya Partai Politik yang menjadikan Pancasila sebagai asas dari Partainya. Sedangkan identitas secara khusus bagi Indonesia adalah: Indonesia sebagai Negara Pancasila. Lihat Muchsin, Ibid. hal. 22 - 26



Selanjutnya..

Teory Sistem (Theory Legal System) Sebagai Instrumen Pembangunan Hukum Indonesia


Teory Sistem (Theory Legal System)

Sebagai Instrumen Pembangunan Hukum Indonesia

Gemilangnya fillsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan modern pada pertengahan abad 20, sungguh sangat memberikan arti penting terhadap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang berlatarbelakang eksak (kealaman). Formulasi sains modern dibangun di atas logika murni oleh Rene Descartes, di mana pengertian ilmu dibatasi pada cabang-cabang ilmu alam semata. Sedangkan epistemologi ilmu pengetahuan dibatasi pada pengertian metode-metode eksperimental. Akibatnya, penegasan ontologi ilmu pengetahuan harus menggunakan ukuran-ukuran ilmu alam dan penegasan epistemologi menggunakan batasan-batasan metode eksperimental[1]. Dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan sains modern yang dibangun oleh Descartes ini di lain pihak melahirkan terjadinya kekaburan terhadap cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tidak berlatarbelakang kealaman (tidak berobyek benda alam) seperti ilmu sosial, ilmu hukum, ilmu kebudayaan dan ilmu-ilmu yang berobyek manusia (human sciences) lainnya. Ilmu-ilmu yang tidak berlatarbelakang eksak (kealaman) tersebut, terputus dari perspektif global dan perspektif aksiologinya. Keresahan intelektual akibat kaburnya ilmu pengetahan non eksak ini pada akhirnya dapat teratasi dengan lahirnya teori sistem. Kelahiran teori sistem, dengan demikian merupakan upaya pengembalian ilmu pengetahuan kepada karakteristik esensialnya (post modernism/sains pasca Cartesian).

A. Prinsip-prinsip dasar Teori Sisitem

Beragamnya norma yang ada di tengah-tengah masyarakat, di mana masing-masing menghendaki eksistensinya, merupakan fenomena yang tidak mungkin dipisah-pisahkan begitu saja untuk dipilih sebagai acuan menetapkan dan membangun sebuah keteraturan dan ketertiban. Secara alamaiah (sunnatullah) hidup bermasyarakat telah diwarnai dan diatur oleh berbagai norma yang berlaku di dalamnya. Norma-norma tersebut secara otomatis dan sistemik menyatu dan selanjutnya bergerak mengarahkan prilaku manusia membentuk keteraturan dan ketertiban. Usaha memisahkan norma-norma tersebut dari arena kehidupan masyarakat pada hakekatnya merupakan usaha yang sia-sia, bahkan dapat dikatakan menciptakan porak-porandanya sebuah keteraturan yang telah mapan. Akan tetapi membiarkan begitu saja norma-norma tersebut berjalan secara alamiah, berarti tidak mendukung upaya mewujudkan kemajuan dan perkembangan. Hukum sebagai salah satu instrument pembangunan masyarakat senantiasa menghendaki atau menuntut adanya perkembangan, seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat itu sendiri. Salah satu cara dari sekian banyak cara pengembangan yang dimaksudkan adalah menganggap bahwa hukum merupakan sebuah sistem, di mana komponen yang satu tidak dapat dipisahkan dengan komponen lainnya.

Secara filosofis, teori sistem hukum mendapatkan akarnya pada teori organis yang mendapat pematangan melalui proses perkembangannya menjelang pertengahan abad 20 yang pada hakikatnya merupakan reaksi terhadap berbagai kekurangan teori analitis mekanis, terutama dalam perspektif "human sciences".[2] Pendekatan sistem kemudian dianggap sebagai teori yang dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan pemecahan masalah hukum, ketika teori-teori tradisional tidak lagi mumpuni. Teori sistem hukum ini dicirikan sebagai berikut:

Pertama, mampu memenuhi kritiknya terhadap metodologi analitis[3]. Ciri ini berhubungan dengan pusat perhatian teori sistem, yaitu apa yang disebut "sistem" atau "keseluruhan" (wholes). Suatu teori yang fungsinya tidak dapat dipenuhi oleh metode analitis, terutama dalam hal mempelajari sesuatu yang bagian-bagian tidak dapat dipisahkan, dan jika dipaksakan pemisahannya akan mengakibatkan lenyapnya makna masing-masing bagian yang dipisahkan. Contoh dari pernyataan ini adalah hukum perbankan syari'ah di Indonesia. Ketika hukum perbankan syari'ah dipisahkan dari kontek hukum Indonesia, berarti hukum perbankan syari'ah secara otoritatif merupakan hukum Islam. Ketika merupakan otoritas hukum Islam berarti hukum perbankan syari'ah hanya merupakan norma agama. Oleh karenanya tidak memiliki kekuatan memaksa, akan tetapi bersifat mana-suka (voluntary). Padahal yang dimaksudkan adalah hukum perbankan syari'ah dalam konteks hukum perbankan nasional yang memiliki kekuatan memaksa oleh Negara. Sebaliknya ketika hukum perbankan syari'ah dipisahkan dari induknya (hukum Islam), maka perbankan syari'ah pada saat itu hanya merupakan sebuah nama, di mana prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalamnya sudah tidak berarti lagi. Karena analisis pada setiap bagian dapat menghilangkan maknanya sama sekali. Untuk itu dinyatakan:

That by their very natural all parts of such system are inextricably related to each other, and by separating the parts of a system in order to study them isolation, we are actually destroying the parts and creating artfacts[4].

Kedua, mampu melukiskan kehususan hal yang disebut sistem itu. Ciri ini berhubungan dengan tujuan aplikasi teori sistem yang diarahkan untuk dapat diterapkan terhadap keseluruhan bentuk sistem tanpa memperhatikan ciri khusus dari elemen apapun sistem itu dibentuk. Inti sistem, dengan demikian adalah hubungan ketergantungan antarsetiap bagian yang membentuk sistem (interrelationship between parts)[5]. Ketiga, mampu menjelaskan kekaburan hal-hal yang termasuk dalam suatu sistem[6]. Ciri ini berhubungan dengan klasifikasi dalam sistem untuk menjelaskan setiap bagian dari sistem tersebut. Ciri ini juga berfungsi memberikan penegasan terhadap sifat umum sistem yang mungkin diterapkan terhadap berbagai kesatuan. Keempat, merupakan teori saintifik[7]. Ciri ini menegaskan sifat saintifik dari teori sistem, di mana ciri penting dari suatu teori sins adalah kemampuannya untuk memprediksi kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa mendatang[8]. Oleh karena itu suatu teori dianggap bukan sintifik apabila ia tidak memiliki predictive value. Dalam perspektif ini teori sistem sering dinilai sebagai teori yang tidak sepenuhnya memenuhi syarat ini, karena teori sistem senantiasa menggambarkan kejadian-kejadian yang telah mendahuluinya, seperti yang telah dinyatakan oleh Bertalanfy sebagai berikut: The desicive question is that of the explanatory and predictive value of the new theories, attacking the host problems around wholeness, teleologi, etc....There is no question that new horizons have been oppened up, but the relations to empirical facts often remain tenuous[9]

Berdasarkan pemaparan di atas, Lili Rasjidi menyusun beberapa ciri dari suatu kesatuan:

Pertama,

sistem adalah suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).

Kedua,

masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan nubungan yang satu sama lain saling bergantung (interdependence of its parts);

Ketiga,

kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar , yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its parts);

Keempat,

Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya. (the whole determines the nature of its parts);

Kelima,

Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered in isolation from the whole);

Keenam,

Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

B. Pengertian dan Komponen Sistem Hukum

Berdasarkan fakta sejarah, tak satu generasipun di dunia ini hidup hampa tanpa aturan. Masyarakat di manapun berada, kapanpun waktunya pastilah hidup dalam skema aturan yang telah disepakati sendiri. Persoalannya, dari mana dan kapan mulainya (cikal bakal) peraturan yang disepakati tersebut ada. Persaoalan ini memang sangat sulit sekali jawabannya. Mengatakan bahwa hukum tidak berafiliasi dengan aturan sebelumnya merupakan suatu keputusan yang tergesa-gesa. Akan tetapi mengatakan bahwa hukum lahir sejak mulai adanya masyarakat dalam suatu kurun waktu dan tempat tertentu merupakan hal yang mustahil. Setidaknya hukum itu muncul karena kebutuhan akan keteraturan saat itu. Sudah barang tentu rasa hukum yang melekat pada setiap anggota masyarakat sebagai warisan yang didapatkan dari generasi sebelumnya merupakan modal dasar terciptanya peraturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Rasa hukum tersebut secara sinergis membentuk sebuah keutuhan yang secara sistemik berkembang secara progresip sesuai dengan perkembangan masyarakat yang dipicu oleh semakin berkembangnya kebutuhan dalam kehidupan. Benar sekali ungkapan bijak para pakar hukum yang menyatakan "di mana ada masyarakat di situlah ada hukum". Hanya saja hukum dalam kontek demikian masih bersifat aturan yang diharapkan mampu menata kehidupan lokal atau komunitas terbatas pada saat itu.

Kehidupan semakin berkembang, hingga pada saatnya hukum (aturan lokal) dibawah kepada skema yang lebih besar, yakni negara. Berpijak pada kontek negara hukum tidak hanya dapat dimaknai sebagai aturan belaka. Hukum memiliki makna yang lebih luas dan universal. Bagi kebanyak pakar positivis, hukum merupakan cerminan sejarah pembentukan sebuah bangsa. Maju dan berkembangnya sebuah negara, dapat dilihat dari sistem hukum yang diterapkannya. Karena dari sistem hukum itulah suasan intelektual, ekonomi, politik, bahkan peradaban bangsa dapat dilihat atau diketahui. Suatu hal pentig yang perlu diketahui, bahwasanya hukum itu erat sekali hubungannya dengan gagasan dan tujuan di mana dan ke mana masyarakat tersebut akan di arahkan.

UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Namun cetak biru ide negara hukum itu hingga saat ini belum dirumuskan secara konprehensip. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hukum di Indonesia selalu mengalami perubahan (pembangunan). Akan tetapi perubahan atau pembangunan hukum tersebut masih bersifat sektoral. Oleh karenanya hukum dalam hal ini harus dipahami secara menyeluruh dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem. Hukum sebagai suatu kesatuan sistem setidaknya memuat hal-hal berikut: (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen prilaku para subyek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subyektif dan kultural)[10].

a. Eemen Kelembagaan (elemen institusional)

Dalam setiap pembicaraan mengenai lembaga negara, ada 2 (dua) unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk dan wadahnya, sedangkan fungsi adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman Vorm), sedangkan fungsi gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya[11]. Perbankan syari'ah sekalipun secara akademik sudah dikenal sangat lama, akan tetapi kehadirannya di Indonesia dalam bentuk kelembagaan relatif sangat baru. Yaitu bersamaan dengan terjadinya krisis moneter di Indonesia tahun 1997 dan baru lahir undang-undangnya pada tahun 2008. Yaitu UU RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Oleh karena itu perlu diupayakan tindakan-tindakan inovatif dalam segi kelembagaannya sebagai bentuk pembangunan kearah maksimal.

b. Elemen Subtansi (elemen instrumental).

Perbedaan esensial antara perbankan syari'ah dengan perbankan konvensional sesungguhnya terletak pada faktor epistemologimya. Kalau perbankan konvensional merupakan sub sistem dari ekonomi konvensional, maka perbankan syari'ah merupakan cabang atau sub sistem dari ekonomi Islam. Sebagai sub sistem dari ekonomi Islam, perbankan syariah tidak dapat dipisahkan dari hukum Islam itu sendiri. Oleh karena itu al-Qur'an dan al-Hadits merupakan sumber hukum yang utama yang kemudian dikembangkan melalui metode ushul fikih dan dikenal sebagai hukum produk pemikiran (fikih/Islamic yurisprudent). Itulah sebabnya secara global hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, hukum Islam sebagai produk murni ilahiyah yang disebut dengan syari'ah. Hukum dalam pengertian ini tidak dapat diamandemen. Hukum Islam merupakan hukum yang terkodifikasi.[12] Di manapun dan kapanpun ia harus dilaksanakan sesuai dengan aturan normatifnya. Oleh karena itu ia bersifat absolut. Akal pikiran sedikitpun tidak memiliki peluang untuk campur tangan. Kedua, hukum Islam sebagai produk mujtahid (pakar hukum Islam). Di sinilah hukum Islam dapat berubah sesuai dengan vareabel pengubahnya. Hukum Islam dalam pengertian ini dipengaruhi oleh waktu dan tempat di mana ia dilaksanakan, {(taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah) Hukum itu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat}.

Di sisi lain hukum perbankan syari'ah mau atau tidak ia harus masuk ke dalam skema hukum nasional yang nota benenya hukum positif Indonesia dengan sistem Civil Law. Hukum merupakan hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu ia selalu dapat diamanden kapan saja dibutuhkan. Hukum harus tertulis bahkan harus dibedakan dengan tatanan moral. Sedangkan hukum Islam sebagai hukum agama bersifat voluntary (mana suka) bahkan lebih mengedepankan tatanan moral (rule of morality). Berangkat dari pernyataan bahwa hukum adalah suatu kulturbegrif, pengertian budaya[13], maka hukum perbankan syari'ah harus merupakan suatu keutuhan sistem dari sekian banyak norma hukum yang terlibat di dalamnya. Karena hukum (perbankan syari'ah) tidak dapat dilepaskan dari sumber ilahiyyah (al-Qur'an dan al-hadits) serta pengertian hukum dengan sendirinya ditentukan oleh cita-cita dan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan[14].

c. Elemen Budaya Hukum.

Meskipun hubungan antara hukum dan masyarakat sudah sangat jelas, tapi dalam menganalisis fenomena ini banyak sarjana yang tampaknya lebih terobsesi dengan gagasan instrumentalis mengenai hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social enginering)[15]. Hukum dikonsepkan sebagai alat kontrol masyarakat sekaligus menciptakan aturan sosial yang sangat canggih serta memberi tekanan terhadap setiap individu agar mengerjakan tugasnya dalam mempertahankan masyarakat yang beradab dan menghalanginya agar tidak melakukan tindakan anti sosial yang bertentangan dengan postulat tatanan sosial.[16] Prinsip ini telah banyak dilakukan oleh banyak negara dalam upaya menciptakan hukum nasional demi untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan di segala bidang. Penekanan yang besar terhadap hukum sebagai instrumen rekayasa sosial ini kemudian digantikan dengan perspektif lain yang melihat hubungan antara hukum dan masyarakat sebagai sebuah rangkaian kesatuan yang memiliki interaksi setara. Dalam dimensi baru ini hukum tidak lagi dianggap sebagai vareabel independen yang terlepas dari elemen lain, tapi sama-sama sebagai vareabel dependen sebagaimana norma-norma sosial dan identitas budaya lainnya.[17] Hukum dalam kontek ini tidak hanya sebagai faktor pembentuk dan kontrol masyarakat, melainkan juga sebagai faktor yang dibentuk, paling tidak hukum juga sebagai faktor yang dipengaruhi. Itulah sebabnya bahwa hukum tidaklah dapat dipisahkan dari realitas sosial yang melingkupinya pada saat itu. Karena melepaskan hukum dari kontek sosialnya berarti mengembalikan hukum kepada pengertiannya sebagai alat rekayasa sosial belaka tanpa ada kontribusi apapun dari realitas sosial yang melingkupinya. Lagi pula menjadikan hukum semata sebagai gagasan instrumental belaka justru akan menyebabkan kehidupan ini menjadi stagnan (tidak berkembang) karena hukum bersifat statis, sementara realitas sosial selalu bergerak menuju pada kemodernan (kesempurnaan) seiring dengan semakin modernnya negara bangsa.

Setelah diyakini bahwa dalam kenyataannya hukum memiliki hubungan setara dengan masyarakat, maka kajian-kajian tentang hukum tidak boleh hanya mencurahkan perhatiannya tentang hukum, melainkan juga bagaimana masyarakat mengalaminya. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dalam kenyataannya norma-norma sosial dan norma hukum secara sistemik bekerja saling pengaruh mempengaruhi dan saling menyempurnakan antara satu dengan yang lain. Maka dengan pertolongan otoritas negara, pada akhirnya akan dibentuk dan dijadikan hukum nasional. Pergulatan berbagai sistem norma dalam membentuk sistem hukum nasional semacam ini sesungguhnya dialami oleh banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Indonesia sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, berarti memiliki kesempatan banyak mengadopsi hukum agama sebagai hukum nasional. Meski hukum agama diyakini sebagai institusi yang tidak bisa diubah (diamandemen), tetapi dalam perpektif fikih (Islamic Yurisprudent)[18] sangat memungkinkan hukum itu diubah sesuai dengan kebutuhan yang dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Pada akhirnya perbankan syari'ah bukan hanya disajikan untuk umat Islam secara khusus, akan tetapi juga diperuntukkan seluruh umat manusia pada umumnya sebagaimana semboyan Islam sebagai agama yang rohmatan lil 'alamin.

C. Arah Sistem Hukum Indonesia.

Sistem hukum Indonesia sebagai sistem aturan yang berlaku di Indonesia memiliki karakter yang berbeda dari negara-negara lainnya. Hal ini disebabkan karena Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan suku bangsa, yang juga memiliki norma-norma hukum yang diakui keberlakuannya, yaitu hukum adat. Begitu pula sejarah panjang yang dialami oleh bangsa Indonesia sebelum merdeka, yaitu sebagai negara jajahan dari berbagai negara seperti Belanda, Jepang, Inggris serta Portugis. Penjajah yang awalnya berpretensi penjajahan di bidang perekonomian, selalu ingin memperluas pada bidang-bidang lainnya. Layaknya rakyat jajahan, selalu harus menurut kepada pemerintah kolonial. Di situlah kesempatan bagi pemerintah kolonial untuk mencetuskan aturan-aturan yang dianggap menguntungkan pemerintahannya (Belanda). Akhirnya kehidupan panjang bersama pemerintah kolonial ternyata tidak hanya berpengaruh pada sektor perekonomian saja, akan tetapi secara implementatif hukum kolonial pun menjadi aturan hukum yang berlaku di negara jajahannya (Indonesia). Sebelum penjajah bercokol, kehidupan masyarakat, selain diatur oleh hukum adat, juga banyak daerah-daerah yang masyarakatnya kental sekali dengan kehidupan agama (Islam).

Fenomena berlakunya berbagai norma hukum ini menambah perbendaharaan hukum yang berlaku di Indonesia yang dianggap eksis oleh masing-maisng komunitasnya. Ketiga norma hukum (hukum adat, hukum kolonial, dan hukum Islam) tersebut masing-masing diharapkan tetap eksis bagi dan oleh komunitasnya bahkan sedapat mungkin menjadi hukum nasional melalui mekanisme legislasi atau positifisasi. Hukum nasional dalam pengertian ini, adalah hukum nasional yang unsur-unsurnya terdiri dari hukum adat, hukum kolonial (Belanda-Eropa) dan hukum Islam. Persoalannya apakah dengan menggabungkan ketiga sistem hukum tersebut hukum nasional secara otomatis sudah memenuhi rasa hukum masyarakat Indonesia? Atau dengan kata lain apakah hukum dalam konteks demikian sudah memenuhi cita hukum nasioanal yang didambakan. Berdasarkan Teori Kedaulatan Negara menurut Krabbe dalam bukunya: Die Lehre der Rechssouveranital" (1906) sebagaimana dikutip oleh Lili Rasyidi[19], bahwa hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena perumusan dari kesadaran hukum rakrat. Berlakunya hukum karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam hukum itu. Berpijak dari pemahaman seperti ini, maka kodivikasi dan yunivikasi hukum merupakan jalan yang paling efektif dan tepat untuk tata hukum Indonesia.

Arah kebijakan hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pereode 1999-2004, tentang:

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk menciptakan kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tatanan reformasi melalui program legislasi;

Jelas menunjukkan harapan terealisasinya hukum Indonesia yang terdiri dari unsur-unsur hukum Islam, hukum adat, dan hukum warisan kolonial. Bangunan tata hukum nasional sebagaimana dikehendaki oleh GBHN 1999-2004 tersebut merupakan Tata Hukum Nasional Indonesia yang tersusun secara hirarkhis dan berintikan Cita Hukum Pancasila, dan yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan melalui asas-asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui perundang-undangan dan yurisprudensi. Cita Hukum Pancasila dan Asas-asas Hukum Nasioanl, dalam dinamika pembentukan hukum, berperan sebagai "guiding principles"[20]

Kontekstualisasi hukum (positif) Indonesia, dengan demikian dapat ditelusuri melalui Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Penjelasan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Artinya segala aturan norma yang terdapat di tengah-tengah masyarakat dan eksis sebagai tuntunan hidup haruslah mendapatkan legalitas dari negara sebagai hukum nasional melalui proses legislasi. Berdasrkan hukum yang terpositifisasi itulah negara berkewajiban mewujudkan tujan negara sebagaimana yang telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1994 Alinea keempat sebagai berikut:

1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Memajukan kesejahteraan umum.

3. mencerdaskan kehidupan bangsa.

4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tujuan Negara yang telah dirumuskan tersebut dapat terwujud dengan cara membentuk organisasi kekuasaan negara yang memuat fungsi, tugas, dan wewenangnya dalam UUD 1945[21]. Implementasi hukum, dalam koredor Pancasila dan UUD 1945, dengan demikian menunjukkan adanya jati diri negara Indonesia[22] yang sekaligus menunjukkan kekhasan hukum Indonesia itu sendiri. Artinya sekalipun bahan hukumnya berasal dari berbagai unsur sistem hukum, namun setelah mengalami perumusan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dapat dijastifikasi bahwa hukum tersebut adalah hukum Indonesia yang memiliki cirri dan karakter Indonesia sendiri, sekalipun secara parsial dimungkinkan adanya persamaan subtansinya dengan sistem hukum lain. Persamaan di sini tidak identik dengan sistem yang telah dinaungi atau didasari oleh landasan filosofis dan ideologis bangsa Indonesia.

Ringkasnya sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum Pancasila yang memiliki karakteristik tersendiri dengan mempertimbankan adanya norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum kolonial. Untuk lebih jelasnya lihat bagan berikut!



[1] Lihat Lili Rosjidi, I.B. Wiyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar Maju, hal. 1

[2] Lihat Lili Rasjidi, ibid. hal. 59.

[3] Lili Rasjidi, ibid, hal. 60.

[4] .DC Philips, Holistic 1988, Thought in Social Science, Stanford University Press, California, hal. 49.

[5] Lili Rasjidi, op. cit. hal. 60.

[6] loc. Cit.

[7] ,loc. Cit.

[8] ibid, hal. 64.

[9] Philip, opcit, hal 67.

[10] Jimly Asshiddiqie, Pembangunan dan Penegakan Hukum di Indonesia, makalah pada seminar "Menyoal Moral Penegak Hukum" dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. 17 Februari 2006.

[11] Jimly Asshiddiqie, 2005, Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Jakarta, Konstitusi Press, hal. 49-50.

[12] Ade Maman Suherman, 2006, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, ,hal. 260.

[13] M. Koesnoe, 1998, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Surabaya:Ubhara Press, hal. 38.

[14] Loc. Cit.

[15] Ratno Lukito, Sacred and Secular Laws, A Study of Conflict and Resolution in Indonesia (Terjemah oleh: Inyiak Ridwan Muzir, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuer, Studi Tentang Konflik dan Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesi, Jakarta, Pustaka Alvabet, hal. 1.

[16] Baca Roscoe Pound, The Task of Law, 1944, Lancaster, Franklin and Marshal College, hal. 12. Secara umum juga lihat Pound, 1951, Justice According to Law, New Haven, Yale University Press, hal. 32-61.

[17] Ratno Lukito, Op. Cit. hal. 2.

[18] Islamic Yurisprudent, merupakan hukum Islam yang dihasilkan dari ijtihad para pakar hukum yang berkopenten dalam bidangnya berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai sumber utama hukum Islam dengan menggunakan metode tertentu. Baik melalui jalan istimbath maupun istidlal.

[19] . Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 84.

[20] Bernard Arief Sidharta, 2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, (Sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia), Bandung, Mandar Maju, hal. 81.

[21] .Muchsin, 2004, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka & Kebijakan Asasi, Jakarta, STIH :IBLAM", hal. 22.

[22] .Jati diri negara Indonesia dapat diidentifikasi dalam 6 (enam) point pokok identitas negara Indonesia yang dinamakan sebagai identitas umum, yang dibedakan dalam: 1). Indonesia sebagai Negara Republik, ketentuan ini ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 dan perubahan yang menyatakan bahwa Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. 2). Indonesia sebagai Negara Demokrasi. Hal ini ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan perubahannya menyatakan bahwa kedaulatam berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 3). Indonesia sebagai negara kesatuan. Indonesia adalah sebagai Negara kesatuan berbentuk Republik, demikian bunyi Pasal 1 ayat(1) UUD 1945 dan perubahannya yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia. 4). Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pernyataan Indonesia sebagai negara kesejahteraan tercermin dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat bahwa Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk kesejahteraan umum. Dalam berbagai produk yang dihasilkan negara baik itu produk pembangunan maupun produk hukumnya juga harus ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat menuju masyarakat yang adil dan makmur. 5). Indonesia sebagai Negara hukum. Hal ini ditunjukkn oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan perubahannya yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 6). Indonesia sebagai Negara Pancasila. Indonesia sebagai negara Pancasila dapat dilihat dari konstitusi yang pernah berlaku yang senantiasa mencantumkan Pancasila sebagai landasan. Perkembangan politikpun seantiasa menunjukkan eksistensi Pancasila. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya Partai Politik yang menjadikan Pancasila sebagai asas dari Partainya. Sedangkan identitas secara khusus bagi Indonesia adalah: Indonesia sebagai Negara Pancasila. Lihat Muchsin, Ibid. hal. 22 - 26


Selanjutnya..
 
SUWANDI © 2007 Template feito por Templates para Você