Selamat Datang

Selasa, 14 Juli 2009

PEMBANGUNAN HUKUM PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA

Pendahuluan
Ekonomi Islam akhir-akhir ini marak diperbincangkan, bahkan sudah mulai menggejala di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara luas. Sesungguhnya perbincangan mengenai ekonomi Islam tersebut hanya merupakan bagian terkecil saja dari ajaran Islam yang sangat komplek serta menyeluruh (syumul). Hanya saja perlu disadari bahwasanya hampir seluruh kegiatan manusia apapun bentuknya, pada hakikatnya mengarah kepada kegiatan yang bersifat ekonomis. Itulah sebabnya al-Imam al-Akbar Mahmud Syaltut mengingatkan kepada umat Islam bahwa sesungguhnya Islam itu bukanlah agama kematian (din al-maut) semata, melainkan sekaligus juga merupakan agama kehidupan (din al-hayah).
Bahkan lebih dari itu ia katakan bahwa Islam adalah agama kerja (din al-‘amaliyah). Ia berpendapat bahwa setiap pekerja dengan profesinya masing-masing pada dasarnya adalah jual beli atau dagang. Berangkat dari pemikiran Mahmud Syaltut ini dapat disimpulkan bahwa hampir atau bahkan semua aktifitas yang dilakukan setiap orang, mulai dari petani di ladang, nelayan di laut, pedagang di pasar, buruh atau karyawan di pabrik, bankir di bank, sampai kepada guru di sekolah, dosen di kampus, konsultan di kantor, dokter di rumah sakit, tentara di medan tempur, jaksa, pengacara dan hakim di pengadilan, penyanyi di panggung/studio, olah ragawan/wati di lapangan, dan lain-lain, semuanya tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka “dagang” (jual beli) alias mencari “untung” dengan cara memberikan barang/jasa dan menerima imbalan/upah, atau apapun sebutannya untuk itu.
Secara khusus, keberadaan perekonomian yang berbasis syari’ah merupakan fenomena baru di kalangan lembaga perekonomian mainstream yang berbasis bunga, karena di dalam sistem perekonomian yang berlaku pada umumnya menggunakan instrumen bunga sebagai penggerak utama kegiatan perekonomian. Sebagai unsur pembeda atas keberadaan lembaga perekonomian syari’ah adalah tidak menerapkan bunga (riba) atas kegiatan-kegiatan usahanya.
Baik dalam rangka penghimpunan dana maupun penyaluran dananya. Atau dengan kata lain bahwa perbankan syari’ah dalam fungsinya untuk menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana (lack of funds), menerapkan sistem bagi hasil (non ribawi). Dalam hal ini perbankan syari’ah tetap memperhatikan sistem keuangan yang baik di bawah pengawasan Bank Indonesia, dalam rangka ikut menjaga dan mengembankan sistem keuangan negara yang sehat dan stabil demi terselenggaranya pembangunan nasional yang sarat dengan pembangunan perekonomian.
Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia memerlukan penyesuaian kebijakan moneter dengan tujuan yang dititikberatkan pada upaya mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah yang ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu: (1) kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian; (2) system pembayaran yang cepat, tepat, dan aman; serta (3) system perbankan dan keuangan yang sehat dan efisien.
Pembayaran dalam bentuk suku/tingkat bunga merupakan perwujudan dari konsep time value of money yang memandang uang sebagai sesuatu yang berharga dan berkembang akibat perjalanan waktu tertentu (tingkat bunga dianggap sebagai komoditas uang). Hal demikian ini berarti dalam perbankan yang berbasis bunga, uang sebagai komoditi dapat berkembang karena waktu tertentu baik dalam kondisi uang tersebut belum digunakan (money lying idle) maupun digunakan untuk kegiatan produktif atau konsumtif.
Kegiatan perekonomian dalam konsep Islam, yaitu economic value of time, yang berarti yang berharga adalah waktu itu sendiri. Menurut konsep Islam, uang adalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas (sesuatu yang diperdagangkan).
Hal demikian berati untuk menyalurkan dana (uang) dan mendapatkan keuntungan (profit) diperlukan transaksi atau perjanjian kerja dalam kegiatan perekonomian riil yang inheren dengan resiko usaha yang dilaksanakan dalam waktu tertentu, seperti halnya transaksi atau perjanjan mudharabah (akad kerja/bisnis dengan menggunakan system bagi hasil).
Sesuai dengan teori keuangan, return goes along with risk (return selalu beriringan dengan resiko), maka salah satu prinsip yang menjadi karakteristik dalam kegiatan operasional perbankan yang berbasis non ribawi (tanpa riba), adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini adalah didasarkan pada pembagian keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) diantara kedua belah pihak yang menjalankan transaksi kegiatan tersebut.
Kehadiran bank syari’ah yang pertama kali adalah PT Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 merupakan awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan bank syari’ah di Indonesia.

Paradigma Bank Syari’ah dalam Kerangka Hukum Nasional
Ketika seorang teolog scientist menempatkan hukum sebagai salah satu dinding terowongan modernitasnya, ini mengundang pertanyaan, dan jawabannya bukan karena alasan yang dikemukakan olehnya bahwa: Pertama, hukum merupakan keputusan penting yang selalu berubah dan memiliki keterkaitan dengan persoalan jiwa (ruhani) manusia. Kedua, begitu beragamnya doktrin konstitusional sehingga perlunya perlindungan berbagai kepentingan, termasuk yang sangat penting adalah kepentingan relegius . Perekonomian umat yang berkapasitas sebagai jantung kehidupan manusia, dalam konteks agama Islam merupakan perpaduan antara dua sisi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedua sisi tersebut adalah konsep perekonomian yang mengacu kepada tujuan mencari keuntungan (profit) dan sandaran transendental yang merupakan keharusan disandarkannya segala aktifitas manusia sebagai bentuk penghambaan atau peribadatan kepada-Nya. Dengan demkian perekonomian yang dibenarkan oleh Islam adalah perekonomian ilahiyah yang pada hakikatnya dapat memenuhi kedua sisi tersebut.
Oleh karena itu perputaran keuangan Islam yang terkemas melalui sistem perbankan syari’ah, secara praktis harus tetap mengacu pada aturan-aturan yang berlaku menurut syari’at Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi kemurnian konsep perbankan syari’ah sebagai bagian dari ajaran agama Islam. Pengertian seperti ini merupakan legitimasi regulasi pelaksanaan keagamaan di Indonesia yang secara monumental tertuang dalam Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar 1945, di mana Piagam Jakarta secara yuridis normatif menjiwai UUD 1945. Keduanya merupakan rangkaian konsitusi yang diberlakukan sebagai dasar implementasi kehidupan beragama di Indonesia. Pasal 29 UUD 1945 menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan, dengan demikian dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam . Pernyataan ini berdasarkan pada pidato atau amanat presiden Sukarno di depan sidang konstituante Tahun 1959 dengan judul “Res Publica. Sekali lagi Res Publica”, juga dalam konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka pada tempatnyalah jika dikatakan bahwa hukum Islam bagi umat Islam warga negara Republik Indonesia memperoleh kekuatannya sendiri untuk diberlakukan atas dasar Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945 Pasal 29 dan Dekrit Presiden. Di sisi lain harus diakui bahwa dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memicu kepada kebutuhan umat yang semakin bertambah, serta menuntut pelayanan dan perlindungan demi terwjudnya kesejahteraan dan keamanan serta kepastian hukumnya.
Suatu hal yang masih harus dipertanyakan, apakah sesungguhnya basis perekonomian Indonesia saat ini? Sosialiskah atau kapitalis. Hal ini perlu mendapatkan jawaban yang kongkrit. Sebab kejelasan basis perekonomian suatu bangsa akan menentukan ke arah mana sesungguhnya perekonomian tersebut akan dibawa. Di samping itu kejelasan basis perekonomian akan menjadi pijakan pemerintah dalam hal melahirkan kebjakan-kebijakannya. Sesuai dengan kultur kehidupan bangsa Indonesia, dimana rasa tolong menolong merupakan ciri masyarakatnya (masyarakat patembayan), memberikan pemahaman bahwasanya sistem ekonomi yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah sstem ekonomi sosialis. Artinya Indonesia tidak mempergunakan ekonomi kapitalis, dimana eksploitasi, monopoli dan lain sebagainya yang mengarah pada kepentingan perorangan atau golongan menjadi hal yang paling penting dalam kemajuan perekonomian.
Sementara itu, fakta sosial menunjukkan bahwa Indonesia yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, maka semestinya segala kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan perekonomian tetap mengarah kepada konsep perekonomian Islam yang menjadi acuan pendidikan ekonomi pemeluknya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kant, bahwa negara adalah suatu keharusan, karena negara harus menjamin terlaksananya kepentingan umum. Negara harus menjamin setiap warga negara untuk bebas di lingkungan hukum, artinya bebas dalam batas norma-norma yang telah ditetapkan oleh undang-undang, karena undang-undang itu adalah penjelmaan kemauan umum dari masyarakat.
Dengan ungkapan “undang-undang itu adalah penjelmaan umum dari masyarakat”, menunjukkan bahwa segala bentuk peraturan baik berupa undang-undang ataupun kebijakan yang ditetapkan oleh negara (pemerintah) hendaklah tetap mengacu kepada kultur yang ada. Sacipto Rahardjo juga berpendapat bahwa ilmu hukum memiliki keterkaitan erat dengan masyarakatnya. Sulit untuk memahami hukum suatu bangsa dengan baik, apabila hukum dilepaskan dari lingkungan dan habitat, dalam hal ini masyarakat dimana hukum berada dan dijalankan. Pernyataan ini memberikan pengertian bahwasanya apabila hukum (law making proses) tidak memandang kebiasaan dan budaya setempat, maka sesungguhnya dapat dikatakan bahwa hukum tersebut, cepat atau lambat akan kehilangan fungsinya, kalau tidak dapat dikatakan tidak berfungsi sama sekali. Maka pada saat itulah hukum tidak mampu memberikan perlindungan, kepastian dan keadilan.
Dalam konteks hukum Islam pun juga demkian. Hukum Islam dalam artian fikih (hasil pemikiran ulama’ berdasarkan nash dhonni) harus selalu diartikan sebagai hukum yang setiap saat siap mengalami atau menerima perubahan sesuai dengan variabel perubahnya. Sebagaimana kaidah fikih mengatakan bahwa:
تغير الأحكام بتغير الأمكنة و الأزمنة
Artinya: “Perubahan hukum itu sesuai dengan perubahan tempat dan waktu”.
Oleh karenanya pemerintah sebagai penguasa yang memiliki segala kebijakan, khususnya kebijakan dalam bidang hukum harus selalu memperhatikan kemaslahatan yang terkait dengan kepentingan umat dalam suatu kurun waktu dan tempat. Jalal al-Din al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nadhair mengemukakan :
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
Artinya: “Kebijakan pemerintah terhadap umatnya (rakyat) harus mengacu kepada kemaslahatan”
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwasaya perekonomian yang di kehendaki oleh Islam dan pemeluknya adalah perekonomian ilahyah (Ketuhanan) dan mendapatkan perlindungan hukum secara pasti dari penguasa atau pemerintah yang berwenang.
Dengan demikian tuntutan perekonomian Islam (termasuk bank syari’ah) adalah terwujudnya perekonomian yang berbasis agama sebagai nilai transendental serta terwujudnya aturan perundangan yang secara yuridis normatif dapat dipertanggung jawabkan.

Hukum Dasar Perbankan Syari’ah
Pengertian hukum dasar di sini harus dibedakan dengan dasar hukum. Karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dasar hukum memberikan arah pengertian kepada wujud atau materi hukum itu sendiri. Sedangkan hukum dasar lebih memberikan pengertian dimana hukum itu berada dan harus digali.
Ubi Societas Ibi Ius “dimana ada hukum di sana ada masyarakat”. Artinya tidak ada sebuah komunitas mayarakatpun yang tidak memiliki hukum. Hanya saja hukum di sini sifatnya masih sangat sederhana sekali yang biasanya berupa tradisi.
Hukum bersifat lokal, cukup untuk memberikan arah ketertiban dalam pergaulan yang juga bersifat lokal, terbatas pada kebutuhan komunitas tersebut. Hukum dalam arti yang demikian ini belum ditulis secara rapi sebagai pegangan yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hukum hanya merupakan kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengikat langkah-langkah kehidupan mereka.
Dari kesepakatan-kesepakatan sosial yang dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah komunitas inilah hukum dasar harus digali. Hal ini dimaksudkan agar hukum yang dipakai dan dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan cita kehidupan mayarakat yang bersangkutan. Di dalam konteks Indonesia, sudah barang tentu hukum dasar itu harus digali dari tempat dimana rakyat Indonesia hidup dan tumbuh berkembang. Sebuah komitmen yang monumental, menunjukkan bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah merupakan suatu wujud deklarasi yang diakui oleh seluruh dunia. Di mana di dalamnya disebutkan cita bangsa Indonesia yang harus dipelihara, ditumbuhkembangkan, dan dijaga demi harkat dan martabat bangsa Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 4 sebagai berikut: “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemenrintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada prinsipnya yang melatarbelakangi dan menjiwai sistem Undang-Undang Dasar 1945 yaitu bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak lain adalah merupakan hasil deduksi logis dari suatu hukum yang lebih tinggi, yaitu hukum ada di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hukum yang terdapat di dalam Pembukaan ini adalah merupakan apa yang di dalam teori disebut sebagai “Staatsfundamental Recht” atau “Fundamental Law” Negara kita. Di dalam istilah penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 hukum itu disebut dengan istilah hukum dasar, dimana di dalamnya terdapat cita hukum yang di dalam bahasa Jerman disebut Rechtsidee. Sehingga secara hierarchie tata hukum kita adalah sebagai berikut:
Rechtsidee, dari rechtsidee ini kemudian ditarik keluar,
Asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum kita. Dari sini ditarik keluar apa yang disebut:
Hukum Dasar yang tidak tertulis. Dari Hukum Dasar yang tidak tertulis ditarik keluar apa yang dapat dijelmakan dalam:
Hukum Dasar yang tertulis yaitu UUD 1945. Atas dasar hukum dasar yang tertulis ini dibentuk selanjutnya:
Badan Hukum Publik berbentuk dalam Negara Republik Indonesia. Badan Hukum Publik ini adalah sebagai pelaksana untuk menjelmakan Rechtsidee beserta hukum dasar yang ada di dalamnya itu menjadi kenyataan di dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang berhasil digali dari hukum dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi sebuah kebijakan oleh pemerintah guna mendapatkan apresiasi positif masyarakat dan dapat dilaksanakan oleh pihak yang berwenang. Kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksudkan, harus mengarah pada suatu tujuan yang aplikatif dan mengandung keterpautan dengan apa yang seyogyanya atau senyatanya dan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, dalam arti bukan merupakan sesuatu yang ingin dilakukan dan dipaksakan.
Dalam konteks yang demikian, hukum merupakan suatu kebutuhan yang melekat pada kehidupan sosial itu sendiri. Hukum melayani anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya, melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan menjamin tercapainya tujuan yang telah ditetapkan dalam masyarakat. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus oleh semua kalangan, khususnya mereka yang terkait langsung dengan kewenangan pembuatan kebijakan demi pembentukan hukum yang bersifat responsive. Dengan demikian kebijakan harus diartikan sebagai: “Kebijakan yang dikembangkan atau dirumuskan oleh instansi-instansi serta pejabat-pejabat pemerintah” . Menurut Burkhardi Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kegiatan yang berhubungan dengan isi atau subtansi peraturan, metode pembentukan serta proses dan prosedur pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratannya sendiri agar produk hukum tersebut dapat berlaku sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis. Dalam kaitan ini aktor-aktor bukan pemerintah atau swasta, tentu saja dapat mempengaruhi perkembangan atau perumusan kebijakan negara.
Bertitik tolak dari apa yang telah dipaparkan di atas, bisa diambil sebuah kesimpulan bahwasanya kebijakan pemerintah Indonesia di bidang perekonomian harus berakar dan bersumber pada kulturbegrif bangsa Indonesia. Dalam konteks budaya bangsa inilah kewajiban mengakomodasi hukum–hukum yang berlaku di negeri Nusantara ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa dikesampingkan. Sehinga adat-istiadat dan agama menjadi unsur dominan lahirnya aturan hukum perekonomian (perbankan) yang sesuai dan cocok untuk bagsa Indonesia.
Dengan tanpa berbuat dan berfikiran diskriminatif, bahwa secara faktual sebagian besar penduduk Indonesia adalah beragama Islam, bahkan dengan kebesarannya itu Islam tampil dengan segala sarana dan prasarana kehidupan, termasuk di dalamnya konsep perekonomian dan perbankan. Maka konsep perekonomian dan perbankan yang harus dikembangkan di Indonesia ini seharusnya mempergunakan konsep Islam yang dalam tulisan ini adalah konsep perbankan syari’ah. Dalam kenyataannya keberadaan ekonomi (bank) syari’ah di Indonesia, merupakan hal yang sudah lama menjadi aktivitas masyarakat. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah bahwa aktivitas perekonomian yang demikian itu masih bersifat soiologis (voluntary law) semata.
Dengan kata lain aktivitas perbankan syari’ah di kalangan masyarakat, sekalipun dari sisi keadilan sudah dianggap memadai, namun pada sisi-sisi yang lain seperti kepastian hukum dan lainnya masih perlu diupayakan. Kalau dalam teori kedaulatan negara dinyatakan bahwa kedudukan hukum memang lebih rendah dari pada kedudukan negara, dan negara tidak tunduk kepada hukum karena hukum diartikan sebagai perintah-perintah dari negara (bentuk imperatif dari norma), akan tetapi menurut Krabe (tokoh teori kedaulatan hukum) negara sendiri dalam kenyataannya tunduk pada hukum. Menurutnya hukum itu sendiri bersumber dari rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini yang disebut instink hukum sebagai tingkatan terendah, sebaliknya dalam tingkatan yang lebih tinggi disebut kesadaran hukum. Lebih lanjut Krabe mengatakan rasa hukum itu terdapat pada diri setiap individu, disamping rasa lainnya seperti kesusilaan, rasa keindahan dan rasa keagungan. Dengan demikian jelaslah bahwa negara (pemerintah) sangat berkewajiban membentuk suatu undang-undang yang khusus dalam persoalan perekonomian rakyat sesuai dengan kultur Indonesia yang dalam kenyataannya terwarnai dengan kultur Islami, demi tercapainya keteraturan keadilan kepastian hukum.

Rekonstruksi Regulasi Perbankan Syari’ah
Menelisik dan mencermati pemaparan di atas, sesungguhnya satu hal yang diangap sangat penting adalah mengadakan suatu upaya pembangunan di bidang hukum, khususnya yang terkait dengan masalah perbankan syari’ah. Memperbincangkan masalah pembangunan, bukanlah seseorang harus mengumpulkan terlebih dahulu bahan baku yang akan dipergunakan. Akan tetapi langkah awal yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah memberikan sketsa atau gambaran tentang sesuatu yang akan dibangun, apa tipologi hukum yang diinginkan serta ke arah mana hukum itu akan dibawa.
Baru tahap berikutnya adalah mengidentifikasi secara seksama tentang apa yang sudah /masih ada atau belum ada, apa yang rusak atau salah, apa yang macet atau apa yang tidak relevan ataupun apa yang mengalami kemerosotan dan kemunduran. Langkah berikutnya setelah dilakukannya identifikasi tersebut adalah melakukan pengadaan terhadap hal-hal yang diperlukan, perbaikan hal-hal yang dianggap rusak atau sudah tidak relevan dan penambahan serta peningkatan secara proporsional.
Menurut Suryono Sukanto untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu peningkatan taraf kehidupan dalam arti luas, maka dapat ditempuh pelbagai cara, baik secara terpisah maupun secara simultan. Salah satu diantaranya adalah secara struktural, yang mencakup perencanaan, pembentukan dan evaluasi terhadap lembaga-lembaga sosial. Di dalamnya termasuk penetapan tata cara organisasinya serta pembangunan kebendaan, sehingga yang menjadi inti rencana perubahan-perubahan terarah yang bersifat sosial struktural.
Sedangkan Samsul Wahidin mengatakan bahwa di dalam penyusunan peraturan hukum konkrit di Indonesia pertama-tama dan terutama sekali disadari bahwa hukum di Indonesia adalah merupakan sebuah sistem yang menjadi bagian dari sistem sosial secara keseluruhan sebagai sistem yang lebih besar. Sistem hukum di Indonesia seperti disimpulkan para pakar mengakomodasikan elemen-elemen yang menjadi subsistemnya, dan sub-sub sistem yang lebih kecil lagi dengan pola pikir yang mendasari sistem hukum Indonesia yang disebut dengan sistem hukum nasional.
Sehingga sistem hukum nasional tersebut berupakan reciper yang terintegrasi dan diintegrasikan secara artistik dalam jangka waktu yang lama dari Sitem Hukum Anglo Saxon, Sistem Hukum Eropa Continental, Sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum Islam. Keempat sistem hukum tersebut mewarnai dan bahkan menjadi elemen dasar dari pembentukan satu sistem hukum yang baru kemudian seperti disebut sebagai Sistem Hukum Nasional. Sementara itu Ibnu Elmi memberikan komentar bahwasanya tidaklah tepat jika dikatakan Hukum Islam dan lain sebagainya. Itu sebagai subsistem hukum nasional, tetapi lebih tepat jika kita sebutkan sebagai bahan baku bagi pembentukan hukum nasional.
Dengan demikian maka upaya yang paling tepat dalam pembangunan hukum perbankan syari’ah adalah menetapkan paradigma lama sebagai sesuatu yang perlu dipikirkan dan diidentifikasi, mana yang sekiranya masih ada dan tetap relevan untuk dijadikan acuan pelaksanaan.
Hasil identifikasi dari paradigma lama tersebut kemudian diinventarisir sebagai bahan baku hukum yang bersifat sementara. Langkah berikutnya adalah mencari paradigma baru hukum perbankan syariah sesuai dengan kultur masyarakat di mana bank syari’ah tersebut akan dilaksanakan.
Penggabungan paradigma lama yang terinventarisasi dengan paradigma baru merupakan hasil yang dianggap sebagai pikiran-pikiran spekulatif yang dalam perjalanan waktu diharapkan akan menjadi tatanan hukum perbankan syari’ah yang akomodatip serta dapat memberikan jaminan keamanan, kepastian dan keadilan dalam kerangka hukum nasional.

Konsep Perbankan Syari’ah
Pengertian Perbankan Syari’ah
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara. Karena bank merupakan rujukan setiap orang, badan-badan usaha, baik swasta maupun milik negara/pemerintah. Baik dalam hal menyimpan uang maupun meminjam, serta jasa-jasa lainnya yang terkait dengan masalah keuangan. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Berkaitan dengan masalah bank, Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, merumuskan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan dalam Peraturan Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, Pasal 1 butir 9 dijelaskan: “Dewan Syari’ah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama’ Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimksudkan dengan Bank Syari’ah adalah Bank sebagaimana bank umum (konvensional) yang menjalankan keuangannya berdasarkan prinsip syari’ah.

Basis Kebijakan Hukum Perbankan Syari’ah
Di muka sudah dijelaskan bahwa sekalipun bank syari’ah ini relatif masih muda, namun fakta sosial tetap menunjukkan adanya eksistensi perbankan syari’ah yang kokoh. Hal ini bisa dilihat dari animo masyarakat yang begitu besar terhadap bank syari’ah, baik dalam hal meminjam maupun menyimpan uangnya. Di dalam Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, pada konsideran disebutkan:
Bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli;
Bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syar’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Dengan demikian operasional bank syariah sama sekali berbeda dengan bank konvenional yang hanya berlatar belakang keuntungan (profit sharing) di mana teori kapitalis dan sosialis menjadi dominan. Bank syari’ah yang diproyeksikan sebagai alat tolong menolong antara mereka yang memiliki modal dan mereka yang memiliki keahlian kerja, masing-masing mendapatkan keuntungan karena jasanya satu terhadap yang lain. Kehadiran hukum dalam sistem perbankan syari’ah yang secara nyata ingin memberikan sumbangan pembangunan di bidang perekonomian merupakan hal yang sangat berarti. Bahkan merupakan hal yang mutlak diperlukan, demi ketertiban, keadilan dan kepastian hukumnya.


F. Penutup
Sesungguhnya bank syari’ah, secara empirik memang telah beroperasi dari zaman ke zaman. Hanya saja pelaksanaan tersebut masih dijalankan secara tradisional bahkan secara personal (belum melembaga). Namun karena meningkatnya kebutuhan manusia yang dipicu majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bank syari’ah dipaksa harus beroperasi secara institusional dan professional serta terwadahi dalam suatu lembaga yang harus mendapatkan legitimasi hukum dari negara. Selaksana harapan akan adanya keamanan, ketertiban, keadilan dan kepastian dalam hukum, secara ideal untuk menyamakan statusnya dengan bank konvensional.
Secara kuantifikasi, masyarakat muslim di Indonesia merupakan modal bagi bank syari’ah untuk merealisasikan harapannya agar pemerintah segera memberikan perlindungan berupa hadirnya perundang-undangan yang khusus tentang bank syari’ah.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, (1992) Refleksi Atas Persoalan Keislaman, Seputar Filsafat, Hukum, Politik dan Ekonomi, Mizan, Bandung,
Dossy Iskandar Prasetyo & Bernard L. Tanya, (2005) Ilmu Negara, Srikandi, Surabaya.
Esmi Warassih, (2005) Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang.
Ibnu Elmi AS Pelu, (2006) Membangun Paradigma Hukum di Kalimantan Tengah, Institutefor strengthening Transtition Society Studies (In TRANS) Publishing, Malang.
Hermansyah, (2005) Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Prenada Media.
Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, (2001) Intervensi Negara Terhadap Agama, Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, UII Press.
Jalal al-Din al-Suyuthy, (1965) .Al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Surabaya, Al-Hidayah.
Kapita Selekta Perbankan Syari’ah, Menyongsong Berlakunya UU. No. 3 Th. 2006 Tentang Perubahan UU. No. 7 Tahun 1989 (Perluasan Wewenang Peradilan Agama), Jakarta Pusdiklat Mahkamah Agung,
Muhammad, (2006) Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Empat, Jakarta.
M. Koesnoe, (1998) Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Ubhara Press,Surabaya.
Fuady. Munir, (2003) Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, PT Salemba Empat, Jakarta
Otje Salman dan Anton F. Susanto, (2005) Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan, Membuka Kembali, cetakan ke dua, Bandung, PT Refika Aditama.
Syaltut. Mahmud, (1966) Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, Dar al Qalam.
Philippe Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, (2003) Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis, Jakarta.
Soekanto. Soerjono, (1982) Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum, CV Rajawali, Jakarta.
Wahidin. Samsul, (2002) Asas Hukum di Dalam Perspektif Penyusunan Aturan Hukum Konkret, Bahan Kuliah Penemuan Hukum, Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangjurat Banjarmasin.
Abdul Wahab. Sholihin, (2005) Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Remy Sjahdeini. Sutan, (1999) Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta.
Rahardjo. Sacipto, (2005) Hukum Progresif Hukum yang membebaskan, Jurnal Hukum Progresif. Volume 2 No. I.

0 komentar:

 
SUWANDI © 2007 Template feito por Templates para Você