Selamat Datang

Rabu, 10 Maret 2010

Pembangunan Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia Dalam Perspektif Eklektisisme Hukum[1]

Pembangunan Hukum Perbankan Syari’ah Indonesia

Dalam Perspektif Eklektisisme Hukum[1]

Sejarah panjang pembahasan tentang hukum, pada akhirnya memberikan kesimpulan bahwa hukum memang sulit untuk didefinisikan secara seragam. Definisi yang dikemukakan selalu menunjukkan perbedaan antara satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut terjadi dikarenakan berbedanya pemikiran yang melatarbelakangi pakarnya masing-masing. Berkaitan dengan hal ini Roscue Pound mengemukakan beberapa konsep mengenai apa hukum itu, yang bisa dibedakan antara satu dengan lainnya. Yaitu: Pertama, ide atau konsep mengenai aturan atau seperangkat aturan yang datang dari Tuhan (bersifat ketuhanan) untuk prilaku manusia. Kedua, ide atau konsep mengenai hukum sebagai tradisi adat yang tua yang telah membuktikan akan diterima oleh tuhan-tuhan, sehingga orang yang mengikutinya akan melewati jalan dengan selamat. Di sini hukum adalah "bentuk kebiasaan atau bentuk yang terekam dari ajaran-ajaran di mana adat dipertahankan dan diekspresikan. Ketiga, hukum diartikan sebagai kebijaksanaan yang terekam dari orang-orang bijak yang telah mempelajari jalan yang aman atau jalan yang disetujui Tuhan untuk tingkah laku manusia. Keempat, hukum dipahami sebagai sistem dasar yang ditemukan secara filosofis yang dapat mengekspresikan esensi pokok sesuatu, di mana setiap orang harus bertindak sesuai dengannya. Kelima, hukum dipahami sebagai kumpulan deklarasi mengenai aturan moral yang kekal dan tidak berubah. Keenam, hukum dipahami sebagai kumpulan persetujuan atau keputusan orang-orang atau organisasi / partai politik di masyarakat. Ketujuh, Hukum dipahami sebagai refleksi ketentuan yang bersifat ketuhanan untuk mengatur dunia. Kedelapan, hukum dipahami sebagai kumpulan perintah dari penguasa yang mempunyai kedaulatan dan otoritas politik agar bagaimana orang-orang bertindak[2]

Dari uraian di atas, secara singkat subtansi hukum yang telah dibahas oleh para pakar dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu, hukum yang mempunyai nilai-nilai ketuhanan dan hukum yang tidak mempunyai nilai-nilai ketuhanan. Pembedaan subtansi hukum seperti ini dapat mengakibatkan adanya dikhotomi atau pemisahan tajam, di mana satu dengan lainnya saling mengklaim bahwa dialah yang paling benar, dan lainnya salah. Pada tingkatan tertentu klaim-klaim tersebut menyatakan bahwa hukum agama mengatur urusan ukhrawi, sedangkan hukum umum yang tidak mempunyai nilai-nilai ketuhanan hanya mengatur urusan duniawi. Hukum agama (Islam) mengantarkan orang kepada kebahagiaan hidup di dunia hingga akherat, sedangkan hukum umum tidak lain berupa hukumnya orang-orang kafir (tidak percaya adanya Tuhan) yang hanya mementingkan kehidupan dunia saja. Padahal, disadari atau tidak dalam tata kehidupan umat manusia di manapun dan kapanpun, selalu terjadi jalin kelindan aturan-aturan yang secara sistemik membentuk sebuah aturan baru untuk menciptakan ketertiban yang telah menjadi kesepakatan.

Pemisahan antara hukum yang mempunyai nilai ketuhanan dan hukum yang tidak mempunyai nilai ketuhanan seperti itu semestinya harus diletakkan dalam kerangka hukum positif dalam sistem hukum sekuler, yakni ada pemisahan yang ketat antara Negara (state) dan agama (religion). Sedangkan dalam sistem hukum di negara yang tidak ada pemisahan yang ketat antara agama dan negara semestinya tidaklah demikian.[3] Berdasrkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berarti Indonesia dapat dinyatakan sebagai negara yang menganut asas ketuhanan. Paling tidak, negara memberikan kesempatan hidup dan berkembangnya agama-agama yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dengan demikian Pancasila merupakan bingkai yang memberikan batas-batas sekaligus keleluasaan bagaimana masyarakat merefleksikan ideologinya dan keyakinannya masing-masing. Sila pertama dara Pancasila, jelas menunjukkan kearah yang demikian. Artinya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang agamis. Mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan tidak mendapatkan tempat di dalamnya.

Perlu disadari betapapun sebuah negara merupakan negara sekular, akan tetapi jika masyarakatnya pernah atau sedang beragama, maka nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakatnya itu tidak mustahil berasal dari ajaran agama yang pernah/sedang dianutnya.[4] Nilai-nilai tersebut setapak demi setapak bergerak membentuk budaya masyarakatnya. Di kala itulah prilaku sebuah masyarakat terwarnai. Itulah sebabnya pemisahan hukum umum dan hukum agama dalam konteks negara dianggap tidak relevan. Terlebih negara yang menjamin kebebasan penduduknya memeluk dan menjalankan agamanya tanpa ada intervensi dari negara sedikitpun. Apalagi hukum umum yang dimaksudkan adalah hukum yang terkodifikasi yang secara materiil dapat berisi hukum agama (Islam) baik sebagian ataupun keseluruhannya, atau bahkan mungkin semangat dan moralitasnya.

Pembahasan hukum dalam konteks Pancasila di Indonesia, seyogyanya dilakukan dengan menampilkan jalin-kelindan atau kerjasama antara hukum umum dan hukum Islam sebagai latarbelakang yang mewarnai budaya bangsanya. Hukum Islam saja dimungkinkan tidak mengatasi persoalan atau paling tidak akan mengalami kesulitan tanpa adanya legitimasi negara. Begitu juga sebaliknya, pada hukum umum. Perbankan syari'ah yang berasal dari hukum Islam tidak dapat begitu saja dilepaskan dari indukknya untuk kemudian diakui sebagai hukum umum (hukum positif Indonesia). Satu-satunya jalan adalah mengadakan penggabungan kedua sistem hukum yang bersangkutan, setelah melalui proses kompetisi keduanya, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal berarti masing-masing dari kedua sistem hukum tersebut berbenah diri melalui rasionalisasi-rasionalisasi kedalam, baik secara metodologis maupun material.[5] Secara eksternal, setelah melalui seleksi internal dari kedua sistem hukum tersebut, kemudian digabungkan untuk menjadi satu kesatuan hukum yang mampu memberikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Nilai-nilai tersebut haruslah mendapatkan pengakuan oleh hukum Islam sekaligus juga oleh hukum umum untuk selanjutnya disahkan sebagai hukum nasional.



[1] Eklektisisme adalah sebuah pemikiran tentang hukum yang di gagas oleh A. Qadri Azizy dalam rangka pembaharuan hukum Indonesia. Pembaharuan tersebut dilakukan melalui pendekatan eklektisisme fikih muamalah dan hukum umum yang akan menghasilkan hukum nasional. Pendekatan eklektik bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber/bahan baku hukum yang ada. Proses pembentukan hukum nasional dilakukan dan dipertanggungjawabkan secara akademik terhadap sumber/bahan hukum yang mungkin ada beberapa pengaturan yang telah menyatu atau eklektik, terlepas apakah saling mempengaruhi (mengisi atau mengambil) atau memang kebetulan. Baca A. Qadri Azizy, Op. Cit. hal. 12-13.

[2] Dielaborasi dari A. Qadri Azizy, 2004, Eklektisisme Hukum Nasional, Kometisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gema Media, hal. 74-76.

[3] Ibid, hal. 81.

[4] . Ibid. hal. 82.

[5] Secara metodologis hukum dapat menggunakan pendekatan induktif maupun deduktif sesuai dengan karakter hukum yang bersangkutan. Sedangkan secara material, masing-masing dari kedua sistem hukum dapat memilih dan memilah mana isi atau subtansi hukum yang dianggap terbaik dan sesuai untuk disandingkan antara keduanya.



0 komentar:

 
SUWANDI © 2007 Template feito por Templates para Você